Unknown's avatar

About akhdaafif

a muslim, an Indonesia citizen, a Tegallover

Bapak Nomor Satu

Menceritakan sosok laki-laki yang paling saya hormati ini, tidak akan pernah selesai diungkapkan lewat berapapun halaman tulisan, atau berjam-jam bercerita. Beliau, bapak saya, adalah bapak yang telah memberikan pondasi berharga buat anak-anaknya dalam menjalani kehidupan.

Bapak adalah pensiunan PNS Pemkot Tegal. Jika berkunjung ke kantor Pemkot, kelurahan, dinas, atau kecamatan yang ada di kota Tegal, tanyakanlah kepada pegawai yang berumur 30-an tahun atau para pejabatnya, saya bisa pastikan bahwa mereka mengenal bapak dengan baik. Bukan karena posisi terakhir Bapak sebagai Camat sebelum pensiun, melainkan karena kesupelan beliau dan konsistensinya menjaga hubungan dengan banyak orang. Maka, setiap saya pergi bersama Bapak, ke manapun tempatnya, selalu saja ada yang menyapa, yang kadang mungkin karena terlalu banyak dan usia yang semakin menua, Bapak kadang lupa dengan orang yang menyapanya.

Jika diminta mendeskripsikan Bapak dalam satu kata, saya akan menuliskan: Muhammadiyah. Beliau menunjukkan kecintaannya kepada Islam lewat belajar dan beramal di Muhammadiyah. Jangan tanyakan kepada kami anak-anaknya, berapa bagian dalam hidupnya telah dihabiskan di Muhammadiyah, karena seluruh jiwa dan raga Bapak adalah Muhammadiyah. Anak-anaknya memang hanya di level TK dan TPQ dididik di sekolah Muhammadiyah, tapi sepanjang usia, kami dididik dengan semangat pengkaderan Muhammadiyah. Sejak SD, kami mengikuti beladiri Tapak Suci tiap hari Minggu pagi, di mana godaan TV sungguh luar biasa dengan beraneka tayangan kartunnya. Ketika Ramadhan tiba, kami diikutkan di pesantren kilat yang diselenggarakan oleh Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Tegal. Bapak berlangganan majalah Muhammadiyah, menyediakan buku Himpunan Putusan Tarjih sebagai pedoman Fiqh, juga biografi tokoh pergerakan.

Yang sangat membekas dan menjadi salah satu prinsip hidup saya dari adalah fanatisme Bapak terhadap Muhammadiyah dan ketegasan prinsipnya, tidak membuat beliau dimusuhi dan ditolak di lingkungan. Kenapa demikian? Beliau pandai memposisikan diri dan menghormati pendapat yang berbeda darinya. Sudah mafhum di RT, jika ada tahlilan orang meninggal, tidak usah mengundang Pak Dradjat. Percuma, Bapak tidak akan pernah datang. Kalau lebaran berbeda, kami sekeluarga tetap santai berlebaran terlebih dahulu. Berangkat sholat idul fitri di lapangan. Seusainya ya pulang di rumah. Tradisi bersalaman dan berkeliling baru kami lakukan esok paginya berbarengan dengan tetangga.

Tapi, apakah itu membuat tetangga memusuhi Bapak? Sampai saat ini, saya tidak melihat itu. Bapak tetap bisa berbaur dengan masyarakat pada kesempatan lainnya. Beliau datang saat rapat RT, ta’ziah ketika ada warga yang meninggal, ikut kerja bakti, peringatan 17 Agustusan, atau malam-malam saat kumpul minum teh poci bareng bapak-bapak atau pemuda RT. Bahkan, Bapak sempat ditugasi menjadi sekretaris RW sampai 2 periode berturut-turut dan pengurus masjid. Mungkin remeh. Tapi bagi kami yang hidup di pemukiman kampung yang majemuk, bukan di komplek perumahan yang homogen, tugas sebagai RT dan RW tidak bisa diserahkan kepada sembarang orang. Resistensi terhadap orang yang dibenci, tidak dikenal, atau tidak aktif dalam interaksi warga sangat berperan. Urusan intelektualitas, kekayaan, pangkat atau status sosial itu urusan kesekian.

Pada hari ini ketika genap umur Bapak berkurang di tahun Masehi, sebagai anaknya saya mendoakan semoga gusti Allah memberkahi umur Bapak dan mengistiqomahkan Bapak dalam berbuat baik. Alhamdulillah, salah satu cita-cita Bapak untuk diberikan menantu sholehah dan cucu perempuan yang pintar, cantik, lucu sudah gusti Allah kasih. Rasanya tidak layak kami meminta lebih, ketika Engkau ya Allah sudah sangat banyak memberikan begitu banyak kebaikan kepada keluarga besar kami. Alhamdulillah… Alhamdulillah… Alhamdulillah…

Cinta Dua Tahun

Halo Unda,

Dua tahun lalu di tanggal ini, ayah selalu ingat, ketika itulah ayah mengucapkan janji setia, mengambil perwalian unda dari keluarga unda. Hari itu status ayah resmi berubah menjadi seorang suami. Dan sejak saat itu pula, kita berdua berjuang bersama-sama. Tahun pertama pernikahan kita tinggal berdua di kontrakan. Itu komitmen kita berdua sebelum menikah, bahwa kita harus mandiri. Apa unda masih ingat bermacam keseruan di kontrakan? Dari mulai tetangga tukang es, ibu haji depan rumah yang kalau ngomong berasa kayak teriak, sampai ibu ketua RT yang kuat ngobrol berjam-jam kalau bertamu ke rumah sampai ayah terkantuk-kantuk. Hahaha….

Berumah tangga mendorong kita belajar banyak hal secara langsung. Tentang bagaimana memahami perasaan pasangan, berkomunikasi, mengendalikan marah, dan menyelesaikan pekerjaan rumah tangga. Dua tahun kebersamaan ini, buat ayah, sudah mengubah ayah menjadi lebih matang dalam banyak hal. Hidup ayah lebih terarah, punya orientasi dan target. Mungkin unda juga begitu. Ada masa-masa di mana kita saling bercerita tentang mimpi masing-masing, tentang Carissa, tentang keluarga, tentang pekerjaan, dan apapun yang ingin kita ceritakan. Juga ada masa ketika salah satu dari kita harus mengalah dan berkompromi atas pilihan yang tak kita sepakati, atau tentang kekurangan salah satu di antara kita.

Dua tahun, masih sangat muda bagi umur sebuah pernikahan. Masih panjang jalan yang harus kita berdua tempuh. Masih banyak rencana hidup yang telah kita berdua diskusikan sebelum pernikahan harus bersama diperjuangkan. Ayah tidak pernah meminta kepada Allah supaya keluarga kita selalu diberikan kebahagiaan. Karena ayah tahu, kematangan iman, akhlak dan akal kita tidak akan terbentuk jika hidup selalu bahagia. Hidup akan memberi bermacam warna: sedih, bahagia, kecewa, marah, takut, cemas. Maka, ayah berdoa supaya Allah menguatkan ikatan hati, kokohnya lengan, dan tegaknya kaki keluarga kita. Sehingga apapun yang dihadapi, kita ikhlas dan ridho menjalaninya bersama. Bahwa selalu ada campur tangan Allah dalam apa yang kita lakukan.

Terima kasih untuk segala warna dua tahun ini. Unda dan Carissa adalah salah satu anugerah paling luar biasa dalam hidup ayah.

 

Catatan dari Kaiserslautern: Pemilu

Sabtu kemarin tanggal 5 April 2014, saya dan teman-teman dari Kaiserslautern dan Saarbucken berbondong-bondong menuju Frankfurt. Ada dua tujuan kunjungan kami. Pertama, untuk mengikuti pemilu yang diadakan KJRI Frankfurt. Kedua, untuk makan-makan dan jalan-jalan 🙂 Rombongan kumpul di stasiun Kaiserslautern. Kami berangkat pukul 08.58 menuju Mannheim. Kami tidak perlu membayar kereta ke Mannheim karena sudah tercover oleh biaya semester tiket kami sebagai mahasiswa. Perjalanan ke Mannheim sekitar 1 jam. Saat transit, baru kami membeli tiket perjalanan ke Frankfurt. Kami membeli tiket grup, yaitu satu tiket untuk 5 orang. Biayanya 32 Euro, lebih murah jika dibandingkan membeli tiket perorangan. Di Mannheim, kami bertemu teman-teman dari Offenburg yang mau ikut pemilu juga.

Kami tiba di stasiun Frankfurt sekitar pukul 12. Karena kebanyakan di antara kami belum terdaftar di DPT, maka baru bisa mencoblos setelah pukul 15.00. Sambil menunggu waktunya tiba, kami pun makan siang terlebih dahulu di sebuah restoran Cina Melayu. Setelah makan, meskipun baru pukul 13.30-an, kami memutuskan ke KJRI terlebih dahulu. Ternyata KJRI Frankfurt sudah ramai oleh massa. Kegiatan pemilu ini juga diramaikan oleh bazaar yang menjual makanan khas Indonesia dan teh botol 🙂 Karena perut baru saja kenyang, saya tidak membeli apapun, meskipun sangat ingin.

Beberapa teman yang datang tidak diperbolehkan untuk memilih di lokasi karena sudah dikirimi kertas suaranya lewat pos. Kebijakan ini bagus supaya kertas suaranya lebih optimal digunakan oleh para pemilih. Pukul 14.45 petugas pemilu meminta massa untuk mulai membuat antrian. Saya memutuskan untuk sholat terlebih dulu. Ternyata setelah 30 menit ditinggal sholat, antriannya sudah panjang luar biasa. Persis antri BLT di depan kantor pos 🙂 Baru sekitar 1 jam kemudian tiba giliran saya masuk ke bilik suara.

Adapun proses pemberian suaranya adalah sebagai berikut. Kami diminta mengisi form dan menyerahkan passpor kepada petugas. Setelah diinputkan datanya, baru kami dipanggil masuk ke TPS. Kami diminta duduk sambil menunggu petugas memanggil. Setelah dipanggil, petugas menunjukkan kertas suaranya. Memastikan kepada kami bahwa kertas suaranya masih utuh, tidak ada bekas coblosan atau tanda tertentu. Setelah itu, kami dipersilakan masuk ke bilik suara. Petugas meminta handphone kami ditaruh di wadah yang sudah disiapkan. Baru kami boleh mencoblos di salah satu bilik.

Antusiasme pemilih di KJRI Frankfurt pada pemilu kali ini sangat luar biasa. Bahkan meningkat jauh dibandingkan pada pemilu sebelumynya. Kebanyakan dari para pemilih kali ini adalah pelajar. Bagi saya, antusiasme ini adalah gambaran dari sebuah harapan. Bahwa teman-teman peduli dengan nasib bangsa yang lebih baik pada masa yang akan datang. Tentang partai apa yang Anda pilih, itu tergantung dari keputusan Anda. Tentu sudah mempertimbangkan banyak hal. Saya tidak berada dalam posisi diperbolehkan untuk mengarahkan ke calon tertentu. Posisi saya sekarang adalah pegawai negara. Saya ingat dulu saat Orde Baru berkuasa, banyak dari kita, juga saya, tidak sepakat karena pegawai negara diarahkan untuk berkampanye dan mendukung salah satu partai. Karena itu, ketika saya berada di posisi tersebut, saya harus konsisten dengan apa yang telah saya nyatakan.

Lewat tulisan ini, saya mengajak rekan-rekan sekalian di manapun berada untuk menggunakan hak pilihnya pada pemilu 2014 ini. Satu suara kita adalah salah satu kontribusi terhadap Indonesia yang akan datang. Pastinya kontribusi ini tidak hanya lewat pemilu. Kita bayar pajak, kita bersihkan lingkungan, kita santuni anak yatim, kita bekerja secara profesional, dan masih banyak lainnya. Semoga gusti Allah memberkahi Indonesia, memilihkan pemimpin-pemimpin yang sholeh, bersih, dan bisa membawa kebaikan bagi negeri ini. Aamiin…

Pemilu Frankfurt

Wanita Pertama

Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia [QS AL ISRAA: 23]

Hari ini, dalam kalender Masehi, tepat 57 tahun umur ibu, wanita pertama dalam hidup saya. Seperti tahun-tahun sebelumnya, saya tidak terbiasa memberikan kado atau semacamnya. Toh, bertambahnya umur bukanlah sesuatu yang patut dirayakan. Yang lebih penting, untuk direnungkan.

Buat saya, anaknya, pada momen ini selalu menelepon beliau dan mendoakan kebaikan dan keberkahan pada sisa umurnya. Juga saya berdoa bagi diri saya sendiri. Semoga Allah memberikan kesabaran dan kemampuan buat saya, untuk menyayangi, menemani, serta berbakti kepada ibu dan bapak pada masa tuanya. Kalau Allah memberikan umur yang lebih panjang buat saya dibandingkan ibu dan bapak, saya minta supaya Allah memampukan saya untuk memandikan jenazah beliau, mengimami sholat jenazahnya, dan memasukkannya ke liang lahat.

Tentu doa yang paling utama, supaya Allah menjadikan kami anaknya, menantunya, dan cucu-cucunya menjadi hamba sholeh-sholehah. Karena dari keturunan sholeh-sholehah inilah, pahala kebaikan bagi ibu dan bapak akan terus mengalir. Allaahumma aamiin…

Catatan dari Kaiserslautern: Serba-Serbi

Di catatan ini, saya mau bercerita random 😀

Pertama, tentang acara kumpul dengan teman-teman dari Indonesia. Media pertemuannya ada dua. Sabtu pagi kami bertemu di acara pengajian. Jumlahnya banyak dan sebagian besar masih muda, baru pada lulus SMA. Saya jadi berasa muda lagi 🙂 Biasanya pada tahun-tahun sebelumnya, jumlah anak Indonesia di Kaiserslautern tidak sebanyak itu. Tahun ini adalah tahun di mana jumlah anak Indonesia paling banyak. Yang hadir di pengajian saja hampir 30an. Belum ditambah teman-teman nonmuslim yang tidak datang. Pengajian kami bulan Maret bertempat di rumah salah seorang teman dari Malaysia. Kalau di Indonesia, kita sering gontok-gontokan dengan Malaysia, di sini kami bergabung. Sama seperti teman-teman dari Pakistan dan India. Secara politik mereka bermusuhan, tetapi di sini terlihat akur-akur aja.

Seusai pengajian, acara kumpul dilanjutkan dengan grillen. Bahasa Indonesianya, bakar-bakaran. Karena acaranya bergabung dengan teman-teman nonmuslim, kami berinisiatif membawa daging ayam dan sosis yang halal. Ini yang namanya toleransi dan tenggangrasa. Nggak masalah ngumpul dan ngobrol dengan teman-teman beda agama. Asalkan ya itu tadi, kita paham dengan menjaga diri dari apa yang halal dan haram. Acaranya berlangsung meriah. Karena ya itu tadi, yang datang banyak bener. Di acara ini, yang datang lebih beraneka ragam. Ada yang sudah 15 tahun di Jerman. Ada yang lama bekerja di sini. Obrolan diakhiri jam 7 malam dengan suasana riang. Saking banyaknya jumlah kami, ketika naik bus, supirnya tanpa memeriksa kartu semester kami. Bus pun langsung penuh dan berisik khas penumpang Indonesia 🙂

Nah yang kedua ini bener-bener nggak nyangka. Teman dari India menanyakan kepada saya, 1 Euro itu berapa nilainya kalau dihitung pakai mata uang saya. Saya jawab aja, sekitar 15.000-an Rupiah lah. Dia kaget bener. Kemudian dia ulangi pertanyaannya. Ya, saya jawab yang sama juga. Kok, banyak banget nol-nya. Dia semakin penasaran. Kemudian bertanya lagi: berapa gaji saya, berapa harga mobil BMW di Indonesia, berapa inflasi per tahun, berapa harga beras 10 tahun lalu dan saat ini. Yang membuat saya lebih kaget, ketika dia membandingkan Indonesia dengan Zimbabwe. What?? Saya bilang aja, kami tidak seburuk itu. Meskipun jumlah nol-nya banyak, kehidupan kami ya alhamdulillah masih normal. Dari obrolan dengan teman saya ini, saya sepakat usulan Bank Indonesia tentang redenominasi, hehe…

Terakhir, tentang salah seorang teman saya dari Pakistan. Suatu kali saat kami belajar bahasa Jerman bersama, tiba-tiba dia minta maaf ke saya. Lho, saya jadi bingung. Terus, dia ngelanjutin. Katanya, waktu pertama kali ketemu saya, dia mengira saya ini orang Cina. Haha, saya ketawa aja dengernya. Mana ada orang Cina item kayak saya, haha… Katanya, fisik saya mirip sama mereka. Bentuk wajah dan badannya gitu, kayak orang Jepang, atau bangsa-bangsa Asia Timur. Mirip dari Hongkong, batin saya 😀 Dia membandingkan dirinya yang orang Pakistan dengan orang India. Kalo pertama kali ngeliat, pasti nggak bisa mbedain. Untuk yang ini, saya sepakat dengannya, hehe…

 

Catatan dari Kaiserslautern: Heute lerne ich Deutsch

Hallo! Mein Name ist Akhda Afif Rasyidi. Ich komme aus Indonesien. Jetzt lebe ich in Deutschland. Ich bin 28 Jahre alt. Ich spreche natĂŒrlich Indonesisch, auch gut Englisch und ein bisschen Deutsch. Ich bin Student und arbeite als Informatiker in dem RegierungsbĂŒro. Ich bin verheiratet. Ich habe eine Frau. Ihr Name ist Syifa Kifahi. Sie ist 27 Jahre alt. Sie arbeitet als BĂ€nker. Wir haben eine Tochter. Sie ist ein Jahr alt. Ihr Name ist Carissa. Jetzt leben sie in Indonesien. Ich habe einen Bruder. Sein Name ist Zulhanief Matsani. Er arbeitet als Steuerberater. Er ist 27 Jahre alt und ledig. Jetzt lebt er in Indonesien. Meine Eltern leben auch in Indonesien.

Meine Hobbys sind Lesen, Blogschreiben, Fußball spielen und Badminton. Keinen Kaffee trinke ich, lieber trinke ich Tee. Ich kann nicht gut singen und tanzen. Meine Wohnung ist neben meiner UniversitĂ€t. Ich habe einen Tisch, zwei StĂŒhle, einen Schrank, einen Computer, keinen Fernseher, kein Radio, und ein Bett in meiner Wohnung. Ich koche Reis, Huhn, Eier oder Rindfleisch. Am Morgen esse ich manchmal MĂŒsli. Ich esse keinen frischen Fisch hier. Ich trinke Wasser, Tee, Milch und keinen Wein oder Bier.

Ich bin in Deutschland seit Februar. Ich bin nach Frankfurt geflogen. Ich habe die S-Bahn zu dem Bahnhof Kaiserslautern genommen. Am Bahnhof in Kaiserslautern hat Steven mich abgeholt. Jetzt ist in Kaiserslautern FrĂŒhling. Jetzt lerne ich Deutsch in meiner UniversitĂ€t. Der Unterricht fĂ€ngt um 8.30 Uhr an. Meine Lehrerin lehrt sehr gut. Ich lese, höre, und spreche Deutsch in der Klasse. Am Montag, Dienstag, Donnerstag und Freitag lerne ich Deutsch. Ich lerne nicht am Mittwoch. Am Wochenende habe ich zu Heidelberg und Speyer besucht. Mit meiner Frau und meinen Eltern telefoniere ich am Samstag oder Sonntag vormittag. Letzten Samstag habe ich meine Freunde aus Indonesien getroffen. Wir haben gegrillt.

Catatan dari Kaiserslautern: Ke Trier

Pada Sabtu, 8 Maret lalu kembali saya mengikuti kegiatan jalan-jalan yang diadakan kampus. Kali ini lokasi tujuannya adalah kota Trier. Kalau dilihat dari peta, lokasi kota ini ada di barat daya Jerman, dekat dengan Luxemburg dan Perancis. Seperti biasa, kami berkumpul di stasiun Kaiserslautern. Untuk menghemat biaya bus, saya berjalan kaki dari apartemen. Tiket bus lumayan mahal, 2 Euro sekali naik. Kalau pindah bus, ya harus bayar lagi. Tapi nanti kalau saya sudah memperoleh kartu mahasiswa, naik bus gratis di area Kaiserslautern sekitarnya. Kami naik kereta pukul 9. Dari papan informasi stasiun, waktu tempuh ke Trier adalah 2 jam. Aktivitas di kereta saya isi dengan tidur selama 1 jam. Baru duduk langsung pulas. Istilahnya pelor, nempel langsung molor 😀 Karena pagi tadi saya terbangun lebih awal dan tidak bisa tidur lagi. Akhirnya beberes kamar dan masak buat sarapan sekaligus bekal perjalanan.

Dari stasiun Trier, kami berjalan kaki ke lokasinya. Nggak lama, cuma 10 menit lah. Kami langsung disambut gerbang kuno buatan Romawi bernama Porta Nigra. Dulu sewaktu Romawi berkuasa, Trier pernah dijadikan sebagai ibukotanya. Ada 4 gerbang yang dibangun di sekeliling kota. Tiga lainnya sudah hancur, tinggal Porta Nigra yang utuh dan orisinal. Salah satu penyebabnya adalah warga yang hidup setelah Romawi tumbang yang mengambil puing-puing gerbang tersebut untuk dijadikan bahan rumah dan sebagainya. Mengapa Porta Nigra tidak ikut diambili puing-puing bangunannya oleh warga? Dulu Porta Nigra selain difungsikan sebagai gerbang, juga digunakan sebagai gereja. Karena itulah, masyarakat sekitar tidak berani membongkarnya. Selain itu, Trier pernah dibombardir tentara sekutu saat Perang Dunia. Kata pemandu wisatanya, semua bangunan hancur kecuali Porta Nigra. Sekelilingnya sudah roboh dan berkeping-keping. Akibat serangan itulah yang menyebabkan warna batu pada gerbang Porta Nigra saat ini menjadi hitam, yaitu bekas kepulan asap. Bisa dibayangkan sehancur apa Trier saat itu.

Setelah melewati Porta Nigra, pemandu wisatanya membawa kami menyusuri pusat keramaian. Dia menyebutnya pasar. Mungkin karena banyak toko dan keramaian orang di situ. Jadi pembeli kedai makanan di situ, disediakan kursi di jalanan terbuka. Mereka makan, minum bir atau anggur sambil menikmati kehangatan matahari. Trier tak sedingin Kaiserslautern. Saat kami ke situ, matahari cerah sekali. Wajarlah jalanan terlihat ramai oleh orang. Matahari memang menjadi barang langka di belahan bumi utara atau selatan. Menurut pemandu wisata, kota akan lebih ramai lagi kalau musim panas tiba. Wisatawan dari Luxemburg dan Perancis berbondong-bondong ke Trier.

Trier pernah melahirkan salah satu tokoh dunia yang masih dikagumi sampai saat ini. Namanya Karl Marx. Ada yang belum tahu? Googling aja 😀 Kemudian, kami diajak berkeliling. Ada beberapa peninggalan Romawi yang masih ada. Sebagian lainnya sudah direhabilitasi. Ada patung-patung dan gereja tua. Bagi yang tidak mau pegal berjalan, bisa menggunakan mobil seperti kereta-keretaan. Detail gambarnya dapat dilihat di album foto ini. Tidak lama kami diajak berkeliling, hanya 2 jam. Setelah itu, kami makan siang. Kami baru menuju ke stasiun pukul 3 sore. Ternyata tidak ada kereta langsung ke Kaiserslautern. Kami harus naik kereta ke Saarbrucken, transit di situ. Perjalanan kereta menempuh waktu 1 jam. Seperti biasa, saya langsung tertidur 😀 Kereta ke Kaiserslautern baru ada jam 6 sore. Kami pun menunggu 1 jam, dan dipersilakan pimpinan rombongan keluar stasiun. Ternyata kota ini lebih ramai dari Kaiserslautern. Di depan stasiun langsung ada mall. Baru kali ini saya melihat mall di Jerman 😀 Karena bingung mau apa, saya pun menemani teman dari India yang mau cari sepatu bola di mall itu. Ada kaos bola di toko itu. Saya pun melihat harganya. Wow, satu kaos bola orisinal bisa lebih dari 80 Euro ternyata. Alamak!

Jam 6 kami berkumpul lagi di stasiun Saarbrucken. Kereta pun tiba. Kami bergegas masuk. Kali ini saya tidak tidur di kereta 😀 Niatnya ingin menikmati perjalanan petang dari kereta. Senjanya indah. Sayang saya tidak sempat memotretnya. Jam 7 kami sampai di stasiun Kaiserslautern. Kami pun kembali ke apartemen masing-masing. Di tulisan berikutnya, akan saya ceritakan pengalaman Sabtu ini di acara kumpulnya orang Indonesia yang tinggal di Kaiserslautern. Terima kasih sudah menyimak 😀

Catatan dari Kaiserslautern: Ke Heidelberg

Seperti yang saya janjikan di tulisan sebelumnya, di tulisan ini saya akan menceritakan jalan-jalan saya ke Heidelberg. Kegiatan ini masih satu rangkaian dengan program orientasi kami. Tiap tengah atau akhir pekan ada tempat tertentu yang akan kami kunjungi. Jalan-jalannya sendiri diadakan pada hari Minggu, 1 Maret 2014. Kami diminta berkumpul di stasiun kereta Kaiserslautern (Kaiserslautern Bahnhof) pukul 8 pagi. Karena hari Minggu, tidak ada bus dari apartemen ke stasiun sebelum jam 8. Di jadwal yang saya lihat, bus terawal datang hampir pukul 9. Setelah bertanya ke teman-teman dari Indonesia, saya disarankan berjalan kaki ke stasiun, kurang lebih 30 menit dari apartemen, paling nggak 7.15 harus sudah jalan.

Alhamdulillah, saya bisa bangun lebih awal dari biasanya. Sebagai perbekalan, malam sebelumnya sudah buat nasi lebih banyak buat pagi dan siang. Sebetulnya hari Jumat sudah masak opor ayam, diniatkan buat bekal ke Heidelberg. Tapi karena perut lapar, Sabtu malam sudah habis disikat 😀 Akhirnya sebagai bekal, saya goreng nugget ayam. Jam 8 kurang saya sudah sampai di stasiun. Terlihat sudah banyak teman yang datang. Di salah satu ujung stasiun, ada beberapa anak muda yang sedang mabuk. Dari perspektif saya, mabuknya mereka ‘lebih sopan’ dari pemabuk di Indonesia. Hanya bercanda sendiri, naik turun tangga nggak jelas, tidak mengganggu orang lain. Malah ketika polisi datang, mereka malah bercanda dengan polisi. Dan polisinya ngladenin! 😀

Kami berangkat naik kereta sekitar pukul 08.40an. Keretanya hampir mirip KRL, nggak terlalu besar. Mungkin karena Minggu, penumpangnya tidak banyak. Perjalanannya sekitar 1,5 jam. Karena lama, saya sempat tertidur, hehe. Sekitar 10.15 kami tiba di stasiun Heidelberg. Stasiunnya lebih besar dibandingkan di Kaiserslautern. Dari stasiun kami berjalan sekitar 20 menit ke tempat wisatanya. Setiba di lokasi, kami harus menunggu pemandu wisatanya sampai pukul 11. Rencananya, wisata akan berlangsung selama 3 jam. Jadi, saya memutuskan makan siang dulu. Perut juga sudah lapar karena sedikit sarapan dan udara yang dingin. Setelah pukul 11, wisata pun dimulai. Grup dibagi dua yaitu grup dengan pemandu berbahasa Jerman dan berbahasa Inggris. Mayoritas dari kami memilih pemandu berbahasa Inggris pastinya 😀

Perjalanan wisata dimulai dari kampus tua Heidelberg. Gedungnya memang terlihat sudah lama, tetapi masih kokoh. Ada penjara mahasiswa di situ. Dulu digunakan untuk mahasiswa-mahasiswa nakal yang dihukum kampus. Sekarang sudah tidak diaktifkan lagi. Kami juga sempat mampir ke museum Friedrich Erbert. Beliau adalah presiden pertama Jerman dan dilahirkan di Heidelberg. Kemudian, perjalanan dilanjutkan ke sungai Neckar. Ada jembatan cukup panjang di situ. Pemandangan sungai dan istana terlihat bagus dari jembatan. Setelah puas berfoto-foto, kami menuju kastil yang ada di bukit. Untuk menuju ke sana, kami naik semacam kereta. Tapi jalurnya sangat pendek, hanya 2 menit perjalanan. Tujuannya memang mempermudah mencapai kastil. Jika ditempuh lewat jalan kaki, juga bisa, hanya jalurnya lumayan menanjak.

Di atas, kami melihat sebagian kota Heidelberg yang indah. Kilau pantulan cahaya matahari di sungai menambah keindahannya. Istananya cukup luas. Kami tidak hanya berkeliling, tetapi juga mendengarkan penjelasan dari pemandu wisatanya. Karena cuaca dingin yang membuat otot kaki pegal-pegal, saya tidak bisa berkonsentrasi penuh pada apa yang disampaikan pemandu wisata. Paling tidak ada beberapa gambar yang sempat saya ambil dan dapat dilihat di sini. Pukul 2 siang, wisata selesai. Kami dibebaskan makan siang atau pulang. Kereta langsung ke Kaiserslautern baru tersedia pukul 15.35. Sebagian besar rombongan sepakat langsung pulang. Kami pun menuju ke stasiun. Sambil menunggu kereta, kami makan bekal yang tersisa di tas, dan ngobrol santai. Pukul 17.25 saya tiba di apartemen dengan badan kedinginan dan pegal-pegal, khususnya kaki. Wisata pertama di Jerman, lelah dan menyenangkan. Semoga teman-teman juga dapat berkesempatan berwisata di sini. Aamiin…

Catatan dari Kaiserslautern: Hari-hari Awal

OK, di tulisan ini saya akan melanjutkan cerita sebelumnya tentang awal-awal kehadiran saya di kota baru ini. Jadi, setelah masuk ke kamar dan beristirahat, pembongkaran barang bawaan hampir 35 kilo ini pun dimulai, hehe. Sesuai dengan pesan dari istri dan orang tua, lebih baik berberat-berat bawaan dibandingkan baru cari-cari barang di tempat tujuan. Selain belum bisa dipastikan gampang memperoleh dan tersedia barangnya, selisih harganya tentu lumayan dibandingkan harga di Indonesia. Sebagai suami, anak dan menantu yang baik, saya tentu mematuhi saran ini 😀

Di dalam koper tiga barang yang paling signifikan beratnya: rice cooker, pemanas air, dan panggangan “Happy Call”. Bener-bener berjuang bawa itu koper dari bandara sampai kamar asrama. Dan nggak sia-sia ternyata karena ketiga barang itu langsung dipakai pertama kali sampai di sini. Hari-hari pertama saya makan makanan instan yang dibawa. Ada bubur ayam instan. Rasanya aneh sih. Tapi daripada saya terkapar, mau nggak mau saya makan juga 😀 Diselingi sama indomie juga. Cuma nggak sering-sering. Buat jaga-jaga juga jika kondisi darurat tidak ada makanan lagi. Intinya, saya cukup berhemat untuk makan ini.

Di belakang apartemen memang ada supermarket. Tapi saya belum ada referensi barang-barang apa saja yang halal dibeli. Saya harus tanya dulu ke temen-temen dari Indonesia yang sudah sampai di sini. Di sinilah masalahnya. Akses internet di apartemen sulit saya peroleh. Koneksi wireless yang ada diproteksi oleh masing-masing pemiliknya. Yang saya denger sih bisa sharing, kita ikut iuran untuk bayar koneksi internet per bulannya. Saya pun mencoba mengetok tetangga sebelah, dan hasilnya ternyata mereka menolak untuk berbagi. Alasannya koneksinya sudah penuh. Jadilah hari-hari awal tanpa koneksi internet. Alhamdulillah masih ada pulsa di hp jadi bisa kasih kabar ke keluarga. Mahal sih. Tapi kan karena penting, mau nggak mau harus dilakukan 🙂

Baru hari ketiga saya bisa ketemu dengan teman dari Indonesia, dan ternyata satu gedung! Yassalaam! Itupun saya menggunakan internet dari kampus untuk mengirimkan email kepada teman saya ini. Alhamdulillah, banyak dibantu sama teman untuk informasi, khususnya tentang beli beras. Maklum, perut saya perut warteg. Belum kenyang kalau belum ada nasi 😀 Baru hari keempat saya bisa makan nasi lagi. Alhamdulillah ya Allah 😀 Saya juga ditunjukkan apa yang bisa dibeli dan dimakan di supermarket terdekat. Kemudian, pada akhir pekan saya dibawa ke toko Asia dan Turki di tengah kota untuk membeli SIM Card, daging ayam dan sapi halal.

Hari-hari awal ada banyak kegiatan administrasi yang harus dilakukan. Setiap mahasiswa harus buka akun bank di sini. Karena semua transaksi hampir otomatis dari bank, misalnya bayar apartemen. Setiap bulannya didebit otomatis dari rekening kita. Selain itu juga mengurus penandatanganan kontrak sewa apartemen, pendaftaran ke pemerintah kota, pembayaran asuransi, perpanjang visa. Alhamdulillah semuanya dibantu oleh staf kampus karena semua dokumen berbahasa Jerman, dan saya nggak ngerti apa-apa 😀

Selain berhadapan dengan berbagai dokumen, kegiatan awal diisi dengan kursus bahasa Jerman. Saya tergabung di kelas pemula, A1.1. Pengalaman pertama belajar bahasa Jerman. Asik juga belajar hal baru. Meskipun melelahkan karena setiap hari, tapi cara pengajarannya interaktif. Relatif tidak membosankan. Nanti kita tunggu hasilnya tengah April. Mudah-mudahan tidak mengecewakan, hehe. Di sela-sela kuliah bahasa, ada jadwal tengah atau akhir pekan ke beberapa lokasi wisata. Hari minggu kemarin kami ke Heidelberg. Insya Allah saya tuliskan di catatan berikutnya ya 😀

Catatan dari Kaiserslautern

Yap, melalui tulisan ini saya akan berbagi tentang perjalanan yang saya tempuh dari Jakarta ke Kaiseslautern. Jadi, keberangkatan ini dalam rangka niat saya untuk belajar di Technische Universtat Kaiserslautern (TUK), jurusan Ilmu Komputer. Sebetulnya saya ingin menggunakan pesawat Garuda, cuma karena untuk jurusan ke Frankfurt tidak tersedia dan duit pas-pasan, maka saya memilih terbang menggunakan Malaysia Airlines. Dan berangkatlah saya pada tanggal 15 Februari 2014 dari bandara Soekarno Hatta. Alhamdulillah keberangkatannya bisa diantarkan oleh keluarga. Oh ya, istri dan anak tidak saya bawa kali ini. Insya Allah, rencananya tahun 2015 bisa dibawa ke sana. Mohon didoakan biar berkumpul lagi. Aamiin 🙂

Di tiket pesawat yang saya beli tertulis berangkat pukul 19.50 WIB. Tapi ketika check-in sekitar pukul 17.45, petugas Malaysia Airlines bilang jam berangkat saya dimajukan, ikut pesawat yang berangkat 18.25. Alasannya pesawat 19.50 mengalami keterlambatan dan waktunya tidak akan cukup untuk mengejar pesawat saya berikutnya dari Kuala Lumpur-Frankfurt pukul 23.59 waktu Malaysia. Petugasnya juga bilang, bahwa tinggal menunggu saya untuk berangkat. WOW! OK, maka saya terburu-buru mengejar pesawat. Nggak mungkin keluar lagi untuk berpamitan. Maka lewat telepon saya meminta maaf ke istri dan orang tua, sambil berjalan tergesa-gesa menuju pesawat. Dan tepat ketika saya tiba di gate, para penumpang sudah dipanggil untuk masuk ke pesawat. Ini menjadi pengalaman yang tak terlupakan, sekaligus momen perpisahan yang menyedihkan 😩

Pesawat sampai di Malaysia tepat waktu. Kemudian saya mencari gate berikutnya. Bandara KLIA ini kualitasnya memang di atas bandara Soekarno Hatta untuk saat ini. Untuk berpindah gate, disediakan kereta cepat. Fasilitas internet di bandara kenceng. Ruangan gate-nya juga modern. Pesawat ke Frankfurt berangkat tepat waktu. Kursi pesawat tidak terlalu penuh. Kursi saya terdiri dari 5 lajur. Hanya terisi oleh saya dan seorang lagi, dan kami duduk di tiap ujung. Perjalanan ke Bandara Frankfurt menempuh 12 jam. Karena lelah, saya memutuskan untuk tidur. Ada dua kali makan berat dan sekali makan ringan yang diberikan dalam perjalanan ini. Nggak perlu khawatir kelaparan.

Sekitar pukul 06.30 waktu Frankfurt, 6 jam lebih lambat dari WIB, pesawat mendarat. Sebelum keluar, jaket tebal yang disimpan di tas saya pakai. Dari informasi pilot, suhu luar sekitar 6 Celcius. Dingin bener dah! Setelah mengambil koper, saya mencari info bagaimana sampai ke stasiun Kaiserslautern. Pihak kampus menjanjikan akan menjemput di lokasi itu. Kata petugas informasi, saya harus keluar bandara dan naik shuttle bus menuju terminal 1. Baru selangkah keluar bandara, saya merasakan betul suhu 6 Celcius itu seperti apa. Buru-buru, sarung tangan saya kenakan juga. Oh ya, total barang bawaan saya ada tas punggung, koper kecil seberat 6,5 kilo, dan koper besar seberat 28 kilo! Repot juga sendirian dan membawa beban sebanyak dan seberat itu.

Bus datang dan bergegas masuklah saya dengan jinjingan seberat itu. Udara dingin ini bener-bener bikin nggak kuat, meskipun badan sudah ditutup berlapis. Maklum, saya anak pesisir. Terbiasa hidup di suhu 30an Celcius. Turun dari bus, saya bingung. Semua petunjuk dalam bahasa Jerman. Nggak ngerti. Terus, saya bertanya lagi ke seseorang yang menurut saya adalah petugas. Dia menunjuk saya harus naik ke atas tangga. Alhamdulillah, ada eskalator. Nggak perlu grudag-grudug bawa kopernya. Dengan berbekal nekat, saya baca aja petunjuk-petunjuk yang ada. Buat orang awam seperti saya, petunjuk-petunjuk yang ada sangat jelas. Itu kelebihan negara Eropa menurut saya. Wisatawan atau para pengunjung tidak perlu takut tersesat asalkan membaca petunjuk yang ada dengan tepat.

Sempat kebingungan selama kurang lebih 5 menit, saya memutuskan berhenti, beristirahat, dan melihat sekitar lebih teliti. Kemudian, saya bertanya kepada penjaga toko roti dan ditunjukkan kantor informasi stasiun yang ternyata tepat di depan tempat istirahat saya tadi! Mungkin karena mulai lelah dan efek kedinginan di luar, konsentrasi membuyar 😀 Kemudian saya diberitahu petugas, untuk menuju stasiun Kaiserslautern, saya naik kereta yang berangkat 8.53 dan akan sampai 10.21. Tiketnya 38 Euro. Nama keretanya DB Bahn. Itu yang tertulis di tiketnya. Keretanya cepat dan nyaman. Pinggiran jalan kereta banyak tanah kosong dan lahan pertanian. Saya heran, suasana di luar kereta sepi betul. Baru saya diberitahu kemudian oleh staf kampus bahwa di Jerman, hari Minggu adalah “hari sepi nasional”. Hampir tidak ada pertokoan dan aktivitas.

Untuk menuju Kaiserslautern, kereta yang saya naiki dari bandara Frankfurt, transit di stasiun Mannheim. Di Mannheim, saya berpindah kereta di rel yang berbeda. Stasiun Mannheim ini tidak bersahabat bagi pendatang baru. Eskalatornya hanya ada di beberapa jalur. Dan jalur yang saya tuju, tidak ada eskalatornya! Ada lebih dari 20 anak tangga. Nggak usah dibayangkan betapa capek dan pegelnya 😀 Saya tiba di stasiun Kaiserslautern tepat waktu. Segera saya mencari telepon umum untuk menghubungi pihak kampus yang menjanjikan akan menjemput saya. Sekitar 20 menit kemudian datang seorang bule muda yang ramah menyapa saya. Karena sudah laper dan pegel, saya biarkan dia membantu membawa koper 28 kilo *evil-smirk*

Namanya Steven. Umurnya masih muda, sekitar 30an tahun. Di stasiun saya sempat membeli air mineral. Sempat bingung ketika ditanya oleh penjualnya, mau yang bersoda atau biasa. Steven menjelaskan bahwa biasanya orang Jerman kalau beli air mineral di toko pasti yang bersoda. Saya pilih air biasa aja, cari aman. Dari stasiun saya dibawa ke kampus dulu. Steven mempersilakan saya untuk menelepon ke orang rumah, gratis lewat telpon kampus. Oke nih prosedurnya, memberikan kepastian bagi keluarga yang ditinggal. Saya laporan ke istri, sekitar pukul 11.30an waktu Jerman, jadi sekitar 17.30an di Jakarta. Dari kampus, diantarlah saya ke apartemen. Dari luar, gedungnya nampak tua, tapi kokoh. Kamar saya ada di lantai 3. Eits, ternyata hitungan lantainya dimulai dari 0. So, riilnya kamar saya ada di lantai 4, hahah.

Sementara sampai di sini dulu ceritanya. Nanti akan saya sambung di tulisan-tulisan berikutnya. Wilkommen in Deutschland! Danke schon, sudah mau membaca 😀