Generasi Radio

Saya mengenal radio sejak SD. Setiap pagi, Bapak selalu menyetel radio untuk menemani aktivitas pagi di rumah. Bapak mencuci pakaian, ibu memasak, saya dan adik dapat jatah menyapu, menyiapkan baju, sepatu, juga mengeluarkan sepeda ke halaman depan. Bapak biasa menyetel radio untuk mendengarkan ceramahnya KH Zainuddin MZ. Pada jam 6, radio menyiarkan berita relay dari KBR68H. Begitu terus rutinitas pagi kami, sampai-sampai saya hafal isi ceramahnya KH Zainuddin MZ kata per katanya, hehehe….

Radio juga menjadi tempat saya dan adik berburu hadiah. Biasanya sore hari, ada radio yang rutin mengadakan kuis. Dengan bekal telepon rumah, kami berdua bekerjasama menjawab dan menghubungi radio tersebut. Kesulitan terbesar adalah bagaimana caranya supaya telepon kami masuk. Entah tepat atau keliru, sampai-sampai kami punya strategi yang aneh. Misalnya, dengan menekan nomor telepon radio tersebut, tapi menyisakan nomor terakhir yang baru ditekan ketika penyiar selesai memberikan pertanyaannya. Ya, lumayan lah dapat hadiah kuis radio. Nilainya memang tak besar, tapi serunya luar biasa 😀

Saat beranjak remaja, belum ada MP3 saat itu. Jadi kalau ingin mendengarkan aneka lagu yang lagi ngehits, ya harus dari radio. Kalau punya duit banyak, bisa ke toko kaset dan beli macam-macam kaset yang disukai. Nah, saat remaja inilah saya punya hobi yang aneh karena cekaknya duit yang saya punya, hehehe… Hobinya adalah merekam lagu-lagu hits yang saya sukai dari radio. Jadi, saya membeli kaset kosong. Kemudian, setiap sore atau malam, saya mantengin radio tape SONY, menunggu lagu yang saya incar. Lalu, ya tinggal tekan tombol REC sampai lagunya selesai diputar. Yang nyebelin adalah kalau suara penyiarnya ikut kerekam di awal atau akhir lagu, atau ketika saya telat menekan tombol STOP sehingga iklan juga ikut terekam. Ya terpaksa ditimpa rekaman itu, ganti dengan rekaman lagu yang lain. Saya lupa ada berapa kaset rekaman yang saya punya. Dan entah di mana posisinya sekarang. Mungkin sudah terbuang, hehehe…

Ketika pertama kali datang ke UI untuk registrasi, barang yang dibelikan pertama kali oleh Bapak kepada saya adalah radio tape. Radionya model klasik, tapi kualitas suaranya oke. Dengan radio itulah yang menemani awal-awal saya tinggal di asrama UI dan membuka pertemanan dengan teman-teman satu lorong. Ketika radio berpindah tangan karena dipinjam teman depan kamar saya yang bernama Faisal, beberapa kali kamarnya sering jadi tempat ngumpul geng lorong karena dia sering mengajak ndengerin sebuah program radio (saya lupa namanya :D) dan berakhir dengan ngobrol dan minum teh bareng. Adapun nasib radio itu sendiri sudah saya berikan ke adik kelas setelah saya lulus 😀

Saya tidak tahu di radio lain seperti apa, di sesi kirim salam lewat telepon di radio-radio Tegal terasa betul kehangatan antara penyiar dan pendengarnya. Obrolannya sangat-sangat akrab seperti teman dekat, khas dengan logat Tegalnya. Sering saya ikut tersenyum, bahkan tertawa mendengarnya. Karena itulah, bagi saya, radio lebih dari sekedar media. Ada banyak kenangan yang saya lalui bersama radio. Ada keakraban yang khas yang saya temukan hanya ada di radio. Mungkin Anda juga merasa begitu?

Empat Tahun Luar Biasa

Tepat hari ini, tepat 4 tahun Kaos Galgil kami berdiri. Saat usianya dua tahun, saya telah menuliskannya di sini. Maka, di tahun keempatnya ini, saya tak bosan untuk bercerita kembali.

Berhenti sejenak saat ini, kemudian kami melihat mundur 4 tahun lalu. Ada banyak hal yang sudah kami lakukan, juga masih banyak yang belum seperti di cita kami dua tahun lalu. Selama dua tahun terakhir, kami fokus memperbaiki pengelolaan keuangan, penambahan modal, dan perbaikan proses kreatif serta produksi. Masih belum maksimal sampai saat ini, tapi kami mensyukurinya sebagai langkah-langkah menuju Galgil yang lebih baik.

Galgil telah tumbuh dan berkembang menjadi salah satu ikon Tegal. Semakin banyak orang Tegal mengenal Galgil, dan menjadikan kaos kami sebagai salah satu kebanggaan, khususnya bagi para perantau. Kami sangat bersyukur, produk kami sudah menjelajah berbagai kota di Indonesia dan dunia. Diabadikan dengan berbagai gaya penuh percaya diri di sini. Betul bahwa ada kompetitor yang juga membuat kaos dengan desain Tegal. Namun, kami melihatnya dari sisi positif, bahwa kompetisi adalah keniscayaan dan diperlukan untuk mendorong menjadi lebih baik seterusnya.

Dalam bisnis, teman bisa menjadi saudara, tetapi saudara bahkan bisa menjadi musuh. Di Galgil, saya mengenal teman-teman yang sekarang seperti saudara, karena kebersamaan bekerja sama selama 4 tahun ini yang luar biasa. Ada kang Indra, kang Zaki, juga kang Itong, atas semua diskusi dan kerja barengnya. Terima kasih juga untuk kepercayaan dan dukungan rekan investor yang lain, juga rekan investor awal yang sekarang sudah tidak bersama kami lagi.

Terima kasih untuk semua penggemar Galgil, galgilovers, di manapun berada. Terima kasih banyak untuk setia menjadi sedulur kami mempromosikan Tegal di seluruh Nusantara, juga dunia.

Salam Galgil. Salam 4 tahun yang luar biasa!

Utamanya Keberkahan

… Kemudian Nabi SAW menceritakan tentang seorang laki-laki yang telah lama berjalan karena jauhnya jarak yang ditempuhnya. Sehingga rambutnya kusut, masai dan berdebu. Orang itu mengangkat tangannya ke langit seraya berdoa: “Wahai Tuhanku, wahai Tuhanku.” Padahal, makanannya dari barang yang haram, minumannya dari yang haram, pakaiannya dari yang haram dan diberi makan dengan makanan yang haram, maka bagaimanakah Allah akan memperkenankan do’anya?” [HR Muslim no 1015]

Beberapa waktu lalu, saya berinteraksi dengan salah seorang teman baik. Beliau bekerja sebagai pegawai negara di salah satu instansi. Beliau berkeluh kesah tentang begitu mengerikannya godaan korupsi dalam pekerjaannya. Yang dikhawatirkannya adalah begitu abainya orang-orang dengan perilaku korupsi yang kecil-kecil. Seseorang memang tak otonom terhadap sistem yang korup. tetapi dia merdeka atas dirinya. Sistem boleh korup, tapi ketika dia mendapat bagian, dia punya pilihan atasnya: menerima atau menolaknya.

Bahkan beliau sampai pada suatu keyakinan bahwa tidak ada profesi yang bersih. Oknum akademisi ikut melacurkan dirinya dengan rente agar mereka diberi proyek oleh pemerintah, melakukan penelitian asal-asalan, dan semua senang-senang saja.  Juga oknum pedagang toko yang mau berkongkalikong dengan menyediakan nota kosong saat jual beli.

Paparan beliau ini menyentak saya, mengingatkan kembali bahwa saya harus mengetahui dengan pasti kualitas harta yang diperoleh, dimiliki, dan dikeluarkan. Apalagi sekarang saya sudah menanggung istri dan anak. Apa yang saya berikan kepada mereka, akan menjadi darah dan daging. Dan saya punya kewajiban untuk menjaga keluarga saya dari harta yang syubhat, apalagi yang jelas-jelas haram.

Saya dan teman-teman mengelola bersama Kaos Galgil di Tegal. Sebagai pengelola keuangan, saya mengingat betul pesan Umar bin Khattab ra ketika menjadi khalifah, saat beliau mengusir para pedagang yang tidak mengerti halal-haram dalam jual beli di pasar Madinah. Di bisnis di mana kami punya kuasa penuh di dalamnya, kami menguatkan diri supaya dijalankan sesuai syariat Islam, meskipun bisnis kami tidak ada label syariahnya. Kami mencatat semua pemasukan dan pengeluaran, kemudian membagi hasil usaha sesuai dengan persentase untung atau ruginya pada bulan berjalan. Kami menjaga diri dari riba, sehingga tidak meminjam di lembaga keuangan. Juga tidak membagi hasil dengan memberikan jaminan sekian persen dari modal, karena itu juga termasuk riba.

Rasulullah melaknat pemakan riba, orang yang menyerahkan riba, pencatat riba dan dua orang saksinya. Beliau mengatakan, “Mereka semua itu sama” [HR. Muslim no 1598]

Pada hal-hal yang saya masih kesulitan atau tidak mungkin untuk menolak sesuatu yang saya ketahui kesyubhatan atau pasti keharamannya, maka yang saya lakukan adalah segera “membuangnya”. Dibuangnya untuk fasilitas sosial dan tidak saya klaim bahwa itu adalah infaq, shodaqoh atau zakat dari saya. Itulah yang saya pahami dari ilmu fiqih para ulama. Pun dalam hutang piutang, saya sangat berhati-hati. Saya khawatir, ketika saya mati, masih ada hutang. Karena itu, saya termasuk yang rewel dalam hal ini. Kalau saya punya piutang ke teman, saya rajin menagih. Kalau saya kepepet dan terpaksa berhutang, saya akan minta untuk selalu diingatkan dan berusahaa segera melunasinya.

Mari kita sama-sama meningkatkan ilmu dan pemahaman supaya tahu kualitas harta kita. Bukan banyak dan sedikitnya harta yang jadi ukuran kemuliaan kita di hadapan Allah, tapi kehalalan atas apa yang kita peroleh, miliki, dan keluarkan. Inilah yang membuat Allah memberkahi hidup kita.

Ruh-Ruh yang Bersama

Ruh-ruh adalah seperti tentara yang berbaris-baris, maka yang saling mengenal akan bersatu dan yang saling mengingkari akan berselisih [HR. Bukhari & Muslim]

Pertengahan 2011 jadi salah satu masa yang paling menegangkan bagi saya, ketika akhirnya saya memutuskan untuk melamar seorang wanita bernama Syifa Kifahi, yang sekarang sudah sah jadi istri dan ibu anak saya :D. Boleh dikatakan, saya belum begitu lama mengenalnya. Meskipun seangkatan dan dari kampus yang sama, justru saya kenal ketika sudah lulus dari kuliah, hehe. Bismillah sama sholat istikharoh. Berbekal yang saya tahu bahwa istri saya agamanya baik dan asal keluarganya dari Tegal, Sesederhana itu kah? Bukan sederhananya, yang penting prosedurnya yang bener. Dimantepin dulu sama Allah, minta petunjuk. Nikah kan nggak main-main.

Ketika resmi menjadi istri, saya semakin mengenali sifatnya. Ada seriusnya, ada galaknya, ada feminimnya, ada becandanya. Biarlah detailnya kami berdua yang menyimpannya. Gak baik mengumbar aib keluarga di depan publik 😀 Yang saya baru sadari setelah menikah, ternyata banyak sifat kami berdua yang mirip. Atau banyak hal yang lebih sering kami sepakati daripada selisihi. Dan untuk yang berbeda, kami saling melengkapi. Kalau yang satunya emosi, yang lainnya menenangkan, mengalah. Pun sebaliknya. Kemudian, saya menemukan hadits di atas yang mewakili apa yang saya rasakan. Kita akan cenderung dengan yang sama dengan kita, ketika berteman, bekerja, juga menikah.

Di tanggal lahir Bunda hari ini, Ayah mendoakan semoga Allah memberkahi sisa umur Bunda dengan kebaikan. Terima kasih ya sudah jadi partner Ayah. Semoga Allah juga membersamakan ruh-ruh kita di surga-Nya. Aamiin…

Bapak Nomor Satu

Menceritakan sosok laki-laki yang paling saya hormati ini, tidak akan pernah selesai diungkapkan lewat berapapun halaman tulisan, atau berjam-jam bercerita. Beliau, bapak saya, adalah bapak yang telah memberikan pondasi berharga buat anak-anaknya dalam menjalani kehidupan.

Bapak adalah pensiunan PNS Pemkot Tegal. Jika berkunjung ke kantor Pemkot, kelurahan, dinas, atau kecamatan yang ada di kota Tegal, tanyakanlah kepada pegawai yang berumur 30-an tahun atau para pejabatnya, saya bisa pastikan bahwa mereka mengenal bapak dengan baik. Bukan karena posisi terakhir Bapak sebagai Camat sebelum pensiun, melainkan karena kesupelan beliau dan konsistensinya menjaga hubungan dengan banyak orang. Maka, setiap saya pergi bersama Bapak, ke manapun tempatnya, selalu saja ada yang menyapa, yang kadang mungkin karena terlalu banyak dan usia yang semakin menua, Bapak kadang lupa dengan orang yang menyapanya.

Jika diminta mendeskripsikan Bapak dalam satu kata, saya akan menuliskan: Muhammadiyah. Beliau menunjukkan kecintaannya kepada Islam lewat belajar dan beramal di Muhammadiyah. Jangan tanyakan kepada kami anak-anaknya, berapa bagian dalam hidupnya telah dihabiskan di Muhammadiyah, karena seluruh jiwa dan raga Bapak adalah Muhammadiyah. Anak-anaknya memang hanya di level TK dan TPQ dididik di sekolah Muhammadiyah, tapi sepanjang usia, kami dididik dengan semangat pengkaderan Muhammadiyah. Sejak SD, kami mengikuti beladiri Tapak Suci tiap hari Minggu pagi, di mana godaan TV sungguh luar biasa dengan beraneka tayangan kartunnya. Ketika Ramadhan tiba, kami diikutkan di pesantren kilat yang diselenggarakan oleh Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Tegal. Bapak berlangganan majalah Muhammadiyah, menyediakan buku Himpunan Putusan Tarjih sebagai pedoman Fiqh, juga biografi tokoh pergerakan.

Yang sangat membekas dan menjadi salah satu prinsip hidup saya dari adalah fanatisme Bapak terhadap Muhammadiyah dan ketegasan prinsipnya, tidak membuat beliau dimusuhi dan ditolak di lingkungan. Kenapa demikian? Beliau pandai memposisikan diri dan menghormati pendapat yang berbeda darinya. Sudah mafhum di RT, jika ada tahlilan orang meninggal, tidak usah mengundang Pak Dradjat. Percuma, Bapak tidak akan pernah datang. Kalau lebaran berbeda, kami sekeluarga tetap santai berlebaran terlebih dahulu. Berangkat sholat idul fitri di lapangan. Seusainya ya pulang di rumah. Tradisi bersalaman dan berkeliling baru kami lakukan esok paginya berbarengan dengan tetangga.

Tapi, apakah itu membuat tetangga memusuhi Bapak? Sampai saat ini, saya tidak melihat itu. Bapak tetap bisa berbaur dengan masyarakat pada kesempatan lainnya. Beliau datang saat rapat RT, ta’ziah ketika ada warga yang meninggal, ikut kerja bakti, peringatan 17 Agustusan, atau malam-malam saat kumpul minum teh poci bareng bapak-bapak atau pemuda RT. Bahkan, Bapak sempat ditugasi menjadi sekretaris RW sampai 2 periode berturut-turut dan pengurus masjid. Mungkin remeh. Tapi bagi kami yang hidup di pemukiman kampung yang majemuk, bukan di komplek perumahan yang homogen, tugas sebagai RT dan RW tidak bisa diserahkan kepada sembarang orang. Resistensi terhadap orang yang dibenci, tidak dikenal, atau tidak aktif dalam interaksi warga sangat berperan. Urusan intelektualitas, kekayaan, pangkat atau status sosial itu urusan kesekian.

Pada hari ini ketika genap umur Bapak berkurang di tahun Masehi, sebagai anaknya saya mendoakan semoga gusti Allah memberkahi umur Bapak dan mengistiqomahkan Bapak dalam berbuat baik. Alhamdulillah, salah satu cita-cita Bapak untuk diberikan menantu sholehah dan cucu perempuan yang pintar, cantik, lucu sudah gusti Allah kasih. Rasanya tidak layak kami meminta lebih, ketika Engkau ya Allah sudah sangat banyak memberikan begitu banyak kebaikan kepada keluarga besar kami. Alhamdulillah… Alhamdulillah… Alhamdulillah…

Catatan dari Kaiserslautern: Ke Heidelberg

Seperti yang saya janjikan di tulisan sebelumnya, di tulisan ini saya akan menceritakan jalan-jalan saya ke Heidelberg. Kegiatan ini masih satu rangkaian dengan program orientasi kami. Tiap tengah atau akhir pekan ada tempat tertentu yang akan kami kunjungi. Jalan-jalannya sendiri diadakan pada hari Minggu, 1 Maret 2014. Kami diminta berkumpul di stasiun kereta Kaiserslautern (Kaiserslautern Bahnhof) pukul 8 pagi. Karena hari Minggu, tidak ada bus dari apartemen ke stasiun sebelum jam 8. Di jadwal yang saya lihat, bus terawal datang hampir pukul 9. Setelah bertanya ke teman-teman dari Indonesia, saya disarankan berjalan kaki ke stasiun, kurang lebih 30 menit dari apartemen, paling nggak 7.15 harus sudah jalan.

Alhamdulillah, saya bisa bangun lebih awal dari biasanya. Sebagai perbekalan, malam sebelumnya sudah buat nasi lebih banyak buat pagi dan siang. Sebetulnya hari Jumat sudah masak opor ayam, diniatkan buat bekal ke Heidelberg. Tapi karena perut lapar, Sabtu malam sudah habis disikat 😀 Akhirnya sebagai bekal, saya goreng nugget ayam. Jam 8 kurang saya sudah sampai di stasiun. Terlihat sudah banyak teman yang datang. Di salah satu ujung stasiun, ada beberapa anak muda yang sedang mabuk. Dari perspektif saya, mabuknya mereka ‘lebih sopan’ dari pemabuk di Indonesia. Hanya bercanda sendiri, naik turun tangga nggak jelas, tidak mengganggu orang lain. Malah ketika polisi datang, mereka malah bercanda dengan polisi. Dan polisinya ngladenin! 😀

Kami berangkat naik kereta sekitar pukul 08.40an. Keretanya hampir mirip KRL, nggak terlalu besar. Mungkin karena Minggu, penumpangnya tidak banyak. Perjalanannya sekitar 1,5 jam. Karena lama, saya sempat tertidur, hehe. Sekitar 10.15 kami tiba di stasiun Heidelberg. Stasiunnya lebih besar dibandingkan di Kaiserslautern. Dari stasiun kami berjalan sekitar 20 menit ke tempat wisatanya. Setiba di lokasi, kami harus menunggu pemandu wisatanya sampai pukul 11. Rencananya, wisata akan berlangsung selama 3 jam. Jadi, saya memutuskan makan siang dulu. Perut juga sudah lapar karena sedikit sarapan dan udara yang dingin. Setelah pukul 11, wisata pun dimulai. Grup dibagi dua yaitu grup dengan pemandu berbahasa Jerman dan berbahasa Inggris. Mayoritas dari kami memilih pemandu berbahasa Inggris pastinya 😀

Perjalanan wisata dimulai dari kampus tua Heidelberg. Gedungnya memang terlihat sudah lama, tetapi masih kokoh. Ada penjara mahasiswa di situ. Dulu digunakan untuk mahasiswa-mahasiswa nakal yang dihukum kampus. Sekarang sudah tidak diaktifkan lagi. Kami juga sempat mampir ke museum Friedrich Erbert. Beliau adalah presiden pertama Jerman dan dilahirkan di Heidelberg. Kemudian, perjalanan dilanjutkan ke sungai Neckar. Ada jembatan cukup panjang di situ. Pemandangan sungai dan istana terlihat bagus dari jembatan. Setelah puas berfoto-foto, kami menuju kastil yang ada di bukit. Untuk menuju ke sana, kami naik semacam kereta. Tapi jalurnya sangat pendek, hanya 2 menit perjalanan. Tujuannya memang mempermudah mencapai kastil. Jika ditempuh lewat jalan kaki, juga bisa, hanya jalurnya lumayan menanjak.

Di atas, kami melihat sebagian kota Heidelberg yang indah. Kilau pantulan cahaya matahari di sungai menambah keindahannya. Istananya cukup luas. Kami tidak hanya berkeliling, tetapi juga mendengarkan penjelasan dari pemandu wisatanya. Karena cuaca dingin yang membuat otot kaki pegal-pegal, saya tidak bisa berkonsentrasi penuh pada apa yang disampaikan pemandu wisata. Paling tidak ada beberapa gambar yang sempat saya ambil dan dapat dilihat di sini. Pukul 2 siang, wisata selesai. Kami dibebaskan makan siang atau pulang. Kereta langsung ke Kaiserslautern baru tersedia pukul 15.35. Sebagian besar rombongan sepakat langsung pulang. Kami pun menuju ke stasiun. Sambil menunggu kereta, kami makan bekal yang tersisa di tas, dan ngobrol santai. Pukul 17.25 saya tiba di apartemen dengan badan kedinginan dan pegal-pegal, khususnya kaki. Wisata pertama di Jerman, lelah dan menyenangkan. Semoga teman-teman juga dapat berkesempatan berwisata di sini. Aamiin…

#BASUH

sore-sore mau berbagi cerita buat teman-teman tentang #BASUH oleh kami di @kumpulbakulTGL

apa itu #BASUH? #BASUH adalah singkatan dari Bagi-bagi Susu Hangat. buat siapa? dhuafa di Tegal sekitarnya

kapan #BASUH diadakan? kegiatannya kami rutinkan tiap kamis malam. meskipun tidak selalu malam, karena ada relawan wanita juga

kok bagi-bagi makanan gitu? apa nggak bisa ngasihnya yang lebih produktif lagi? buat modal usaha kan lebih bermanfaat tuh #BASUH

kami sedang melakukan apa yang kami bisa. mulai yang kecil dulu. karena kegiatan ini semuanya swadaya. nggak ada yang dibayar #BASUH

di hari pembagian, kami sendiri yang mengelilingi Tegal, mencari dhuafa. kemudian membagikan susu dan roti untuk mereka #BASUH

suatu waktu, dhuafanya adalah gelandangan yang sepuh dan tidur di emperan toko. lain waktu, untuk tukang becak #BASUH

seteguk susu hangat dan roti, mudah-mudahan bisa menemani malam dingin mereka. jarang-jarang juga mereka bisa makan roti enak dan minum susu

apa harus semuanya turun ke jalan? nggak kok. saya yang tinggal di jakarta sekarang juga bisa gabung di #BASUH

lho, gimana caranya? yang belum bisa turun langsung, bisa berinfaq. berapapun itu, kami terima. kami menjamin semuanya didistribusikan

tidak ada satu rupiahpun uang donatur #BASUH untuk kegiatan operasional. itu ngambil dari kantung masing-masing

apa nggak rugi begitu? kami malu, sama Tuhan kok kebanyakan itung-itungan. dijalanin aja. niatnya bismillah.. #BASUH

malam ini insya Allah bergerak lagi. tujuannya ke arah selatan Tegal. silakan kontak ke mas @indrawans atau mas @AWEntrepreneur

mohon maaf sudah mengganggu linimasa teman-teman. pareng 🙂 #BASUH

Memberi yang Terbaik

Jika Anda sekarang atau nanti menjadi orangtua, apa yang ingin Anda berikan kepada anak? Jawabannya pasti sama. Akan memberikan yang terbaik. Apa itu yang terbaik?

Orang tua saat ini sudah membekali anak balitanya dengan gadget terbaru. Supaya tidak ketinggalan zaman, katanya. Dulu saya hanya bisa iri melihat tetangga saya punya video game terbaru, sekarang saya tidak ingin anak saya menderita seperti saya, kata yang lain lagi. Maka, anak-anak itu asyik dengan gadget-nya. Di manapun dia berada. Kalau sang anak mulai rewel atau ngambek, cukup berikan gadget dan dia akan segera diam.

Anak-anak diberikan fasilitas terbaik yang orang tuanya miliki dan sanggup beli. Untuk apa kerja keras tiap hari kalau hasilnya tidak diberikan kepada anak, begitu pembenarannya. Kalau anak hendak pergi ke suatu tempat, orang tua sudah menyiapkan mobil. Untuk kenyamanan dan keamanan, katanya. Sekolah anak pun harus dipilihkan yang terbaik, yaitu yang paling mahal, yang gurunya punya background kampus bonafid, apalagi dari luar negeri.

Saya dididik dengan banyak ketidakmudahan fasilitas dari orang tua. Kami anak-anaknya dibiasakan naik sepeda sejak kelas 5 SD. Tidak dibolehkan membeli nintendo atau games semacamnya. Bahkan dari uang tabungan kami sendiri. Kami baru bisa membeli komputer saat kelas 2 SMA, sebagian besar dari iuran tabungan saya dan adik. Kami diberikan uang saku per bulan sejak SMP, dan tidak ada tambahan lagi jika uang sakunya habis. Saya harus mengirit uang jajan untuk bisa membeli buku pelajaran atau koran Bola. Bapak juga membiarkan kami mendaftar SMP dan SMA sendiri tanpa diantar dan ditemani, juga saat kami mengikuti bimbingan belajar di Depok untuk SNMPTN.

Apa orang tua kami tidak punya uang lebih untuk anak-anaknya? Saya yakin mereka berdua memiliki, meskipun tidak banyak. Apa orang tua kami tidak sayang sehingga sering membiarkan anak-anaknya mengurus sesuatunya sendiri? Saya yakin mereka sangat menyayangi kami. Dan cara itulah yang mereka lakukan untuk mendidik dan menyayangi kami berdua. Tidak dengan memberikan banyak mainan dan kemudahan. Tapi dengan membuat kami prihatin, mandiri dan mau bekerja keras.

Tidak ada jaminan apa yang dilakukan oleh orang tua kami adalah hal yang paling benar, dan orang tua lain yang memfasilitasi anaknya adalah keliru. Saya sedang mengingatkan diri saya sendiri, bahwa tidak ada jaminan bahwa memberi yang terbaik kepada anak kita adalah dengan memudahkan hidupnya dengan aneka fasilitas. Mungkin, dengan ‘menyusahkannya’ dengan berjuang, akan lebih baik untuk masa depannya kelak.

*sudah sembilan bulan usiamu hari ini nak. semoga ayah dan bundamu bisa menjadi orang tua yang sholeh sehingga bisa mendidikmu menjadi anak yang sholehah. aamiin…*

Kelirumologi Nama Istri

Mau membagi beberapa hal yang kemarin saya tweet di @akhdaafif tentang apa yang saya pahami hukumnya menambahkan nama suami di belakang nama asli istri. Semoga bermanfaat bagi saya dan rekan-rekan

1. buat perempuan, islam melarang menggunakan nama suami ditambahkan di namanya lho. yang boleh cuma nama ayah. ada yang baru tahu? 😀

2. hukumnya memang dilarang untuk menyertakan nama suami di belakang istri. salah satu bahasannya: http://www.eramuslim.com/ustadz-menjawab/pemakaian-nama-selaian-nama-ayah.htm

3. setelah menikah, saya tidak pernah meminta istri untuk menambahkan nama saya di belakang namanya. jadi tetap: Syifa Kifahi

4. dalam masyarakat kita, memang nama panggilan istri biasa dinisbatkan ke suaminya. misal, istri saya nanti dipanggil Bu Afif

5. ya kalau adatnya begitu, kita tetap mengenalkan nama panggilan istri, dan minta dipanggil nama istri. semampu kita berusaha aja

6. kecuali di tempat yang kita punya wewenang penuh.misalnya: akun socmed.minta istri memakai nama aslinya saja,tanpa embel-embel nama kita

7. salah satu hikmah yang bisa saya dapat dari aturan itu adalah karena tidak ada namanya mantan anak. kalo mantan suami, kan ada tuh

8. dalam islam, nasab punya peran penting. misal, untuk penentuan waris. juga untuk pernikahan, sebagai wali atau yang haram dinikahi

9. sepele sih. tapi saya lihat sering diabaikan. khususnya teman-teman sebaya yang beberapa kali saya temui, dan juga dalam candaan

Nilai Sebanding

siapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)-nya. dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)-nya pula [Al Zalzalah: 7-8]

Ketika masih SD, teman-teman sering bertanya kepada saya, kenapa saya hampir selalu dapat ranking 1 di kelas. Saya jawab saja: karena saya belajar. Hampir setiap sore atau malam sepulang sekolah, materi hari itu dibaca lagi. Jika ada PR, langsung dikerjakan. Apa yang dilakukan oleh teman-teman saya? Waktu sore dan malam mereka habis dipakai untuk bermain nintendo, sega, atau dingdong di marina. Lainnya? Menonton televisi tiada habisnya. Akibatnya: PR dikerjakan di sekolah, dan buka buku kalau besok ulangan. Apa saya tidak bermain? Tentu saja bermain. Bermain bola di sore hari, main dingdong, atau main nintendo. Untuk dua yang terakhir, sangat jarang, belum tentu sepekan sekali.

Beranjak kuliah, saya masih menggunakan metode yang sama. Tapi, hasil yang diperoleh tidak sama. Sedangkan kasat mata, saya melihat teman kampus yang santai, selalu dapat nilai yang jauh lebih baik daripada saya. Lantas, saya merenung, hingga sampai pada sebuah kesimpulan. Saya memang rutin belajar. Tapi, materinya jauh lebih sulit dan kemampuan otak saya untuk menyerap materi kuliah berbeda dengan saat SD. Teman yang terlihat santai, ia pasti belajar. Waktu belajarnya mungkin sama dengan saya. Tapi kemampuan otaknya jauh lebih hebat memahami materi. Maka yang perlu saya lakukan adalah membuat belajar menjadi lebih efektif dan menambah jam belajar. Biasa jam 10 malam tidur, kemudian menjadi jam 12 malam. Pada waktu luang yang ada, saya paksakan untuk sekedar membaca slide kuliah atau mengerjakan tugas meski hanya 1 nomor.

Orang-orang yang saat ini, menurut pendapat kita atau orang lain dikatakan sukses, entah dalam sekolah, berkarir, berdagang, berumahtangga, dan sebagainya; keberhasilan itu diperoleh tidak dengan mudah. Mereka belajar lebih banyak. Pulang sekolah, digunakan untuk belajar. Hari libur dimanfaatkan dengan membaca, mengerjakan tugas, atau sekedar membuka kembali materi yang sudah pernah diajarkan.

Karir yang berhasil juga dibangun dari kerja keras. Bekerja lebih lama dari waktu kerja normal. Berlatih hal baru. Membuka jaringan yang tidak hanya teman seruangan atau rekan kantor dan kuliah. Tidak hanya membuka, tetapi jaringan itu dikelola. Rutin disapa, direspon, juga berkumpul di lokasi strategis. Kesuksesan juga lahir dari spiritual yang intensif. Sholatnya lebih khusyuk. Infaqnya total, nggak milih-milih uang ketika buka dompet. Sholat dhuhanya, sholat tahajudnya, qobliyah dan ba’diyah nggak pernah tertinggal. Amalannya ditambah dengan berbakti sama orang tua, hormat sama guru, ramah dengan teman.

Kemudian, kita bertanya. Kita sudah belajar, bekerja, dan berdoa sangat maksimal. Kenapa Allah nggak kasih hasilnya? Mungkin, definisi “sangat maksimal” kita masih belum maksimal. Seperti peristiwa pada diri saya di atas. Saya sudah merasa maksimal saat awal kuliah. Tapi, batas maksimal yang saya pakai sama seperti saat SD. Padahal, waktu dan lokasi sudah tidak setara, not apple to apple.

Jika ada orang yang tidak belajar, tidak tekun, tidak beribadah, tapi posisinya mentereng dan hartanya melimpah; janganlah kita berkecil hati. Mungkin orang tuanya, kakek buyutnya, atau generasi-generasi sebelumnya yang paripurna menyelesaikannya. Atau, mungkin Allah sedang meng-istdraj-kan. Dikasih seluruhnya, kemudian sekonyong-konyong dicampakkan sehina-hinanya.

Kita tidak pernah tahu takdir Allah yang akan menimpa siapapun. Yang bisa kita lakukan adalah menyeriuskan apa yang kita lakukan; semua doa dan kerja keras kita. Gusti Allah mboten sare, Dia akan menghitung semuanya. Dengan sangat adil. Jangan khawatir.