Email dari Pak Anies

pagi ini ketika membuka email yahoo saya, ada pesan masuk baru yang membuat saya terkejut. pengirimnya: Anies Baswedan. menurut saya, ini broadcast email. tapi, pesan yang tertulis di dalamnya menyentuh semangat pagi saya. saya mengenal beliau sebagai pribadi yang semangat, memiliki mimpi dan tindakan nyata untuk membangun negeri ini. saya sepakat bahwa ujian kepemimpinan adalah ketika ambil bagian di dalamnya, bukan sekedar meneriakkan idealisme di luar. semoga Allah meridhoi misi mulia Pak Anies. aamiin…

Assalamu’alaikum wr wb dan salam sejahtera.

Kepada Yth Akhda Afif Rasyidi
Di tempat

Semoga email ini menemui teman-teman dalam keadaan sehat wal afiat dan makin produktif.

Saya menulis surat ini terkait dengan perkembangan baru yang datangnya amat cepat. Saya merasa perlu untuk mengirimkan surat ini secara pribadi karena selama ini kita telah bekerja bersama baik di Kelas Inspirasi atau Indonesia Menyala atau kegiatan lain sebagai bagian dari Gerakan Indonesia Mengajar. Selama ini kita telah sama-sama ikut aktif menata masa depan Indonesia tercinta. Ikhtiar ini, sekecil apapun kini, Insya Allah akan punya dampak yang besar di kemudian hari.

Beberapa waktu yang lalu, saya diundang untuk turut konvensi. Saya diundang bukan untuk jadi pengurus partai, tetapi untuk diseleksi dan dicalonkan dalam pemilihan presiden tahun depan. Saya semakin renungkan tentang bangsa kita, tentang negeri ini.

Para pendiri Republik ini adalah kaum terdidik yang tercerahkan, berintegritas, dan berkesempatan hidup nyaman tapi mereka pilih untuk berjuang. Mereka berjuang dengan menjunjung tinggi harga diri, sebagai politisi yang negarawan. Karena itu mereka jadi keteladanan yang menggerakkan, membuat semua siap turun tangan. Republik ini didirikan dan dipertahankan lewat gotong royong. Semua iuran untuk republik: iuran nyawa, tenaga, darah, harta dan segalanya. Mereka berjuang dengan cara terhormat karena itu mereka dapat kehormatan dalam catatan sejarah bangsa ini.

Kini makna “politik” dan “politisi” terdegradasi, bahkan sering menjadi bahan cemoohan. Tetapi di wilayah politik itulah berbagai urusan yang menyangkut negara dan bangsa ini diputuskan. Soal pangan, kesehatan, pertanian, pendidikan, perumahan, kesejahteraan dan sederet urusan rakyat lainnya yang diputuskan oleh negara. Amat banyak urusan yang kita titipkan pada negara untuk diputuskan.

Di tahun 2005, APBN kita baru sekitar 500-an triliun dan di tahun ini sudah lebih dari 1600 triliun. APBN kita lompat lebih dari tiga kali lipat dalam waktu kurang dari delapan tahun. Kemana uang iuran kita semua digunakan? Di tahun-tahun kedepan, negara ini akan mengelola uang iuran kita yang luar biasa banyaknya. Jika kita semua hanya bersedia jadi pembayar pajak yang baik, lalu siapa yang jadi pengambil keputusan atas iuran kita?

Begitu banyak urusan yang dibiayai atas IURAN kita dan atas NAMA kita semua. Ya, suka atau tidak, semua tindakan negara adalah atas nama kita semua, seluruh bangsa Indonesia. Haruskah kita semua membiarkan, hanya lipat tangan dan cuma urun angan?

Di negeri ini, lembaga dengan tata kelola yang baik dan taat pada prinsip good governance masih amat minoritas. Mari kita lihat dengan jujur di sekeliling kita. Terlalu banyak lembaga, institusi dan individu yang masih amat mudah melanggar etika dan hukum semudah melanggar rambu-rambu lalu lintas. Haruskah kita menunggu semua lembaga itu beres dan “bersih” baru ikut turun tangan?

Jika saya tidak diundang, maka saya terbebas dari tanggung-jawab untuk memilih. Tapi kenyataannya saya diundang walau tidak pernah mendaftar apalagi mengajukan diri. Dan saya menghargai Partai Demokrat karena -apapun tujuannya- faktanya partai ini jadi satu-satunya yang mengundang warga negara, warga non partisan. Di satu sisi, Partai Demokrat memang sedang banyak masalah dan persepsi publik juga amat rendah. Di sisi lain konvensi yang dilakukan oleh Partai Demokrat adalah mekanisme baik yang seharusnya juga ada di semua partai agar calon presiden ditentukan oleh rakyat juga.

Saya pilih untuk ikut mendorong tradisi konvensi agar partai jangan sekedar menjadi kendaraan bagi kepentingan elit partai yang sempit. Kini semua harus memperjuangkan agar konvensi yang dilaksanakan oleh Partai Demokrat ini akan terbuka, fair dan bisa diawasi publik. Saya percaya bahwa penyimpangan pada konvensi sama dengan pengurasan atas kepercayaan yang sedang menipis.

Undangan ini untuk ikut mengurusi negara yang kini sedang dihantam deretan masalah, yang hulunya adalah masalah integritas dan kepercayaan. Haruskah saya jawab, “mohon maaf saya tidak mau ikut mengurusi karena saya ingin semua bersih dulu, saya takut ini cuma akal-akalan. Saya ingin jaga citra, saya ingin jauh dari kontroversi, saya enggan dicurigai dan bisa tak populer?” Bukankah kita lelah lihat sikap tidak otentik, yang sekedar ingin populer tanpa memikirkan elemen tanggungjawab? Haruskah saya menghindar dan cari aman saja? Saya sungguh renungkan ini semua.

Saat peringatan Hari Kemerdekaan 17 Agutus 2013 adalah hari-hari dimana saya harus ambil keputusan. Saat itu saya menghadiri upacara di Istana Merdeka, bukan karena saya pribadi diundang, tetapi undangan ditujukan pada ahli waris AR Baswedan, kakek kami, dan kami yang berada di Jakarta. Jadi saya dan istri hadir mewakili keluarga.

Seperti biasa bendera merah putih itu dinaikkan dengan khidmat diiringi gelora Indonesia Raya. Dahulu bendera itu naik lewat jutaan orang iuran nyawa, darah dan tenaga hingga akhirnya tegak berkibar untuk pertama kalinya. Menyaksikan bendera itu bergerak ke puncak dan berkibar dengan gagah, dada ini bergetar.

Sepanjang bendera itu dinaikkan, ingatan saya tertuju pada Alm. AR Baswedan dan para perintis kemerdekaan lainnya. Mereka hibahkan hidupnya untuk memperjuangkan agar Republik ini berdiri. Mereka berjuang “menaikkan” Sang Merah-Putih selama berpuluh tahun bukan sekedar dalam hitungan menit seperti saat upacara kini. Mereka tak pilih jalur nyaman dan aman. Mereka juga masih muda, namun tidak ada kata terlalu muda untuk turun tangan bagi bangsa. Berpikir ada yang terlalu muda, hanya akan membawa kita berpikir ada yang terlalu tua untuk turun tangan. Mereka adalah orang-orang yang mencintai bangsanya, melebihi cintanya pada dirinya.

Suatu ketika saya menerima sms dari salah satu putri Proklamator kita. Ia meneruskan sms berisi Sila-Sila dalam Pancasila yang dipelesetkan misalnya “Ketuhanan Yang Maha Esa” diubah jadi “keuangan yang maha kuasa” dan seterusnya. Lalu ia tuliskan, “Bung Anies, apa sudah separah ini bangsa kita? Kasihan kakekmu dan kasihan ayahku. Yang telah berjuang tanpa memikirkan diri sendiri, akan ‘gain’ apa.”

Kini, saat ditawarkan untuk ikut mengurusi negara maka haruskah saya tolak? sambil berkata, mohon maaf saya ingin di zona nyaman, saya ingin terus di jalur aman ditemani tepuk tangan? Haruskah sederetan peminat kursi presiden yang sudah menggelontorkan rupiah amat besar itu dibiarkan melenggang begitu saja? Sementara kita lihat tanda-tanda yang terang benderang, di sana-sini ada saja yang menguras uang negara jadi uang keluarga, jadi uang partai, atau jadi uang kelompoknya di saat terlalu banyak anak-anak bangsa yang tidak bisa melanjutkan sekolah, sebuah “jembatan” menuju kemandirian dan kesejahteraan. Pantaskah saya berkata pada orang tua, pada kakek-nenek kita, bahwa kita tidak mau ikut berproses untuk mengurus negara karena partai belum bersih? Haruskah kita menunggu semua partai beres dan “bersih” baru ikut turun tangan?

Saya pilih ikut ambil tanggung jawab tidak cuma jadi penonton. Bagi saya pilihannya jelas, mengutuk kegelapan ini atau ikut menyalakan lilin, menyalakan cahaya. Lipat tangan atau turun tangan. Saya pilih yang kedua, saya pilih menyalakan cahaya. Saya pilih turun tangan. Di tengah deretan masalah dan goncangan yang mengempiskan optimisme, kita harus pilih untuk terus hadir mendorong optimisme. Mendorong muncul dan terangnya harapan. Ya, mungkin akan dicurigai, bisa tidak populer bahkan bisa dikecam, karena di jalur ini kita sering menyaksikan keserakahan dengan mengatasnamakan rakyat.

Tapi sekali lagi ini soal rasa tanggung-jawab atas Indonesia kita. Ini bukan soal hitung-hitungan untung-rugi, bukan soal kalkulasi rute untuk menjangkau kursi, dan bukan soal siapa diuntungkan. Saya tidak mulai dengan bicara soal logistik atau pilih-pilih jalur, tetapi saya bicara soal potret bangsa kita dan soal tanggung-jawab kita. Tentang bagaimana semangat gerakan yang jadi pijar gelora untuk merdeka itu harus dinyalaterangkan lagi. Kita semua harus merasa turut memiliki atas masalah di bangsa ini.

Ini perjuangan, maka semua harus diusahakan, diperjuangkan bukan minta serba disiapkan. Tanggung-jawab kita adalah ikut berjuang -sekecil apapun- untuk memulihkan politik sebagai jalan untuk melakukan kebaikan, melakukan perubahan dan bukan sekedar mengejar kekuasaan. Kita harus lebih takut tentang pertanggungjawaban kita pada anak-cucu dan pada Tuhan soal pilihan kita hari ini: diam atau turun tangan. Para sejarawan kelak akan menulis soal pilihan ini.

Semangat ini melampaui urusan warna, bendera dan nama partai. Ini adalah semangat untuk ikut memastikan bahwa Republik ini adalah milik kita semua dan untuk kita semua, seperti kata Bung Karno saat pidato soal Pancasila 1 Juni 1945. Tugas kita kini adalah memastikan bahwa dimanapun anak bangsa dibesarkan, di perumahan nyaman, di kampung sesak-pengap tengah kota, atau di desa seterpencil apapun, ia punya peluang yang sama untuk merasakan kemakmuran, keterdidikan, kemandirian dan kebahagiaan sebagai anak Indonesia.

Saya tidak bawa cita-cita, saya mengemban misi. Cita-cita itu untuk diraih, misi itu untuk dilaksanakan. Semangat dan misi saya adalah ikut mengembalikan janji mulia pendirian Republik ini. Sekecil apapun itu, siap untuk terlibat demi melunasi tiap Janji Kemerdekaan. Janji yang dituliskan pada Pembukaan UUD 1945: melindungi, mencerdaskan, mensejahterakan dan jadi bagian dari dunia.

Kita semua sadar bahwa satu orang tidak bisa menyelesaikan seluruh masalah. Dan cara efektif untuk melanggengkan masalah adalah dengan kita semua hanya lipat tangan dan berharap ada satu orang terpilih jadi pemimpin lalu menyelesaikan seluruh masalah. Tantangan di negeri ini terlalu besar untuk diselesaikan oleh satu orang, tantangan ini harus diselesaikan lewat kerja kolosal. Jika tiap kita pilih turun tangan, siap berbuat maka perubahan akan bergulir.

Apalagi negeri ini sedang berubah. Tengok kondisi keluarga kita masing-masing. Negara ini telah memberi kita amat banyak. Sudah banyak saudara sebangsa yang padanya janji kemerdekaan itu telah terlunasi: sudah terlindungi, tersejahterakan, dan tercerdaskan. Tapi masih jauh lebih banyak saudara sebangsa yang pada mereka janji itu masih sebatas bacaan saat upacara, belum menjadi kenyataan hidup.

Di negeri ini masih ada terlalu banyak orang baik, masih amat besar kekuatan orang lurus di semua sektor. Saya temukan mereka saat berjalan ke berbagai tempat. Saat mendiskusikan undangan ini dengan anak-anak generasi baru Republik ini, saya bertemu dengan orang-orang baik yang pemberani, yang mencintai negerinya lebih dari cintanya pada citra dirinya, yang tak takut dikritik, dan selalu katakan siap turun tangan. Akankah kita yang sudah mendapatkan yang dijanjikan oleh Republik ini diam, tak mau tahu dan tak mau turun tangan? Pantaskah kita terus menerus melupakan -sambil tak minta maaf¬- pada saudara sebangsa yang masih jauh dari makmur dan terdidik?

Bersama teman segagasan, kami sedang membangun sebuah platform www.turuntangan.org untuk bertukar gagasan dan bergerak bersama. Ini bukan soal meraih kursi, ini soal kita turun tangan memastikan bahwa mereka yang kelak mengatasnamakan kita adalah orang-orang yang kesehariannya memperjuangkan perbaikan nasib kita, nasib seluruh bangsa.

Teman-teman juga punya pilihan yang sama. Lihat potret bangsa ini dan bisa pilih diam tak bergerak atau pilih untuk turut memiliki atas masalah lalu siap bergerak. Beranikan diri untuk bergerak, bangkitkan semangat untuk turun tangan, dan aktif gunakan hak untuk turut menentukan arah negara. Jalur ini bisa terjal dan penuh tantangan, bisa berhasil dan bisa gagal. Tapi nyali kita tidak ciut, dada kita penuh semangat karena kita telah luruskan niat, telah tegaskan sikap. Hari ini kita berkeringat tapi kelak butiran keringat itu jadi penumbuh rasa bangga pada anak-anak kita. Biar mereka bangga bahwa kita tidak tinggal diam dan tak ikut lakukan pembiaran, kita pilih turun tangan.

Saya mendiskusikan undangan ini dengan keluarga di rumah dan dengan Ibu dan Ayah di Jogja. Mereka mengikuti dari amat dekat urusan-urusan di negeri ini. Ayah menjawab, “Jalani dan hadapi. Hidup ini memang perjuangan, ada pertarungan dan ada risiko. Maju terus dan jalani dengan lurus.” Istri mengatakan, “yang penting tetap jaga nama baik, cuma itu yang kita punya buat anak-anak kita.” Ibu mengungkapkan ada rasa khawatir menyaksikan jalur ini tapi Ibu lalu katakan, “terus jalani dengan cara-cara benar. Saya titipkan anak saya ini bukan pada siapa-siapa, bukan kita yang akan jadi pelindungnya Anies. Saya titipkan anak saya pada Allah, biarkan Allah saja yang jadi pelindungnya.”

Itu jawaban mereka. Saya camkan amat dalam sambil berdoa, Insya Allah suatu saat saya bisa kembali ke mereka dan membuat mereka bersyukur bahwa kita ikut turun tangan, mau ikut ambil tanggung-jawab –sekecil apapun itu- untuk republik ini. Ini adalah sebuah jalur yang harus dijalani dengan ketulusan yaitu kesanggupan untuk tak terbang jika dipuji dan tak tumbang jika dikiritik. Bismillah, kita masuki proses ini dengan kepala tegak, Insya Allah terus jaga diri agar keluar dengan kepala tegak. Faidza ‘Azamta Fatawakkal ‘Alallah … bulatkan niat lalu berserah pada Sang Maha Kuasa.

Sebagai penutup, saya mengajak teman-teman untuk menengok video klip yang direkam dengan maksud sederhana untuk menyampaikan pertimbangan saya saat memutuskan untuk menerima tawaran ikut turun tangan dalam konvensi Partai Demokrat di link berikut ini: http://www.youtube.com/watch?v=7QNJqG0Fqf0

Semoga Allah SWT selalu meridloi perjalanan di jalur baru dari perjalanan yang sama ini dan semoga semakin banyak yang menyatakan siap untuk turun tangan bagi Republik tercinta ini.

Terima kasih dan salam hangat,

Anies Baswedan

Antara Fatwa Politik dan Fatwa Politis

dapet tulisan ini dari sebuah milis. ingin berbagi untuk memberikan informasi dan perspektif bagi rekan-rekan

Fatwa sangat penting kita ketahui khususnya untuk menghadapi berbagai dinamika kehidupan yang terus berkembang sehingga kita mengetahui kedudukannya dalam syariat. Tak terkecuali dalam masalah politik. Akan tetapi dalam masalah politik, permasalahannya sangat sensitif, karena sudut pandangan dan latar belakangnya bisa jadi sangat beragam, dan yang lebih rawan adalah syarat kepentingan. Sehingga dalam batas tertentu, kita sulit membedakan apakah ini fatwa politik ataukah fatwa politis…

Revolusi Arab yang terjadi belakangan ini misalnya dapat kita ambil contohnya. Banyak hal yang harus kita lihat, subtansinya mungkin sama, rakyat tidak puas dengan pemimpinnya yang diktator, tapi masing-masing memiliki cara dan gaya penyelesaian. Ada Maroko yang paling smooth, ada yang lumayan lancar seperti Tunisia, ada yang berdarah-darah namun relatif berhasil menumbangkan sang dictator, seperti Libia dan Yaman. Yang sangat kelam adalah Suriah dan kini Mesir yang hingga kini terus berlanjut dan berdarah. Semoga Allah angkat semua nestapa ini dari saudara-saudara kita di sana.
Setidaknya ada dua point yang ingin saya sampaikan sebagai pandangan pribadi saya;

1. Sebagaimana saya katakan bahwa substansi Revolusi Arab adalah sama, ketidakpuasan dengan pemerintahan yang ada dan ingin melakukan reformasi pemerintahan.  Apapun kemudian perkembangan yang terjadi, mestinya sikap kita sama. Jangan sampai ada sikap gand. Misalnya ketika Kadafi jatuh tidak bermasalah, tapi ketika Mubarak jatuh, tidak sudi. Atau misalnya, terhadap perjuangan rakyat Suriah, memberikan pembelaan kuat, sedangkan terhadap perjuangan rakyat Mesir yang menolak kudeta militer justeru mengecam. Ketika Mursi berkuasa, berbagai demo menggoyang kekuasaannya tidak ada seruan agar mereka kembali ke rumah-rumahnya, eh kini ketika pendukung Mursi menentang kudeta militer terhadap presiden yang sah, suara nyaring itu baru terdengar. Apakah yang membedakan antara perjuangan rakyat Suriah dengan rakyat Mesir sehingga sikapnya berbeda? Atau apakah bedanya antara penentangan anti Mursi dahulu dengan penentangan pro Mursi sekarang sehingga fatwanya baru keluar sekarang…?

Saya jadi ingat dengan jihad Afghanistan, semasa rakyat Afghanistan berjihad melawan pemerintahan boneka Uni Sovyet, jihad mendapatkan sambutan hangat di negara-negara teluk. Saat itu Bin Ladin di elu-elukan, bahkan kata teman saya orang Saudi, dibuka tempat-tempat khusus untuk pendaftaran jihad ke Afghanistan. Berbondong-bondong para pemuda ke Afghan. Bahkan tokoh jihad Afghan Abdu rabbi rasul Sayyaf diundang untuk menerima medali king Faishal sebagai tokoh yang dianggap menghidupkan jihad, bahkan dia berpidato soal jihad di panggung resmi.  Tapi bagaimana kini fatwa tentang Jihad Afghan setelah yang dilawan adalah pemerintah boneka AS? Teroris!! Bayangkan, dari mujahid ke teroris! Apa bedanya Najibullah yang jadi boneka Uni Sovyet dengan Karzai yang kini jadi boneka AS?

Beginilah rumitnya kalau fatwanya tidak konsisten, sangat kuat gelagat ada pesan kepentingan tertentu. Yang dilihat akhirnya bukan kuatnya dalil, tapi masalah misdaqiyah (kredibilitas) dan istiqlaliyah (independensi) nya. Sekedar membandingkan dengan kasus serupa di tengah masyarakat, banyak para majikan di negeri Arab yang mendatangkan TKI dari Negara lain tanpa mahram sebagai pembantu rumah tangganya. Sebagian mereka adalah orang yang mengerti dan taat beragama, alasannya adalah kebutuhan. Yang sangat ironis (sekaligus menggelikan) jika musim haji tiba, lalu sang TKW minta ke majikannya untuk berangkat haji, mereka melarangnya dengan alasan tidak ada mahram!!

2. Terkait dengan gerakan penggulingan pemerintahan yang sah dan sikap menasehati penguasa, saya kira memang cukup jelas dalil-dalil normatifnya. Hanya saja, kasusnya di lapangan harus dipahami dengan seksama dan objektif dan mempertimbangkan berbagai hal.

Jika kita lihat revolusi Arab sebagai kasus, atas nama siapakah tuntutan lengsernya penguasa diktator tersebut? Jika kita perhatikan, semuanya bersumber dari rakyat umum yang sudah muak dengan pemerintahan diktator. Bukan karena kelompok tertentu yang mengincar kekuasaan dengan menggulingkannya. IM sendiri yang dianggap sebagai kekuatan politik Islam terbesar, bukanlah inisiator utama gerakan rakyat tersebut. Bahkan pada saat pertama kali gerakan ini muncul IM cukup menjaga diri. Berpuluh-puluh tahun IM dizalimi sejak zaman Nasher, Sadat hingga Mubarak, tidak tercatat mereka mengerahkan massa untuk menggulingkan penguasa, dipenjara, diintimidasi, difitnah, mereka tetap berjalan, membina masyarakat dan menasehati penguasa dengan cara damai. Ketika akhirnya gerakan rakyat tersebut semakin membesar dan hakekatnya tuntutan mereka sama, maka ketika itu IM turun bersama rakyat, terus mengawal keinginan rakyat hingga akhirnya dipercaya menduduki tampuk pemerintahan. Jadi, kalau saya melihat, IM lebih berperan mengontrol jalannya pemerintahan dan mengawal aspirasi masyarakat. Yang perlu diketahui bahwa penentang kudeta Mesir bukan hanya IM saja, bahkan analisanya menunjukkan bahwa lautan manusia yang menentang kudeta Mesir, orang IM hanya sebagian kecil saja…

Masalah pencopotan pemimpin Negara pada masa sekarang sendiri ada juga jalur konstitusionalnya. Apalagi ketika mereka dipilih oleh rakyat dan kemudian rakyatnya secara umum menolaknya. Inipun harus menjadi bahan pertimbangan fiqih politik kontemporer.  Jika kita runut ke belakang misalnya, berdirinya Negara Saudi modern, tak lain setelah berhasil “menggulingkan” beberapa penguasa muslim di beberapa wilayah di Arab Saudi ini, dan setahu saya hal itu tidak diperdebatkan para ulama.

Sekali lagi masalah ini memang sangat kasuistik. Tidak dapat diukur dengan fatwa yang sama.

Adapun terkait dengan banyaknya korban yang jatuh, bagi saya ini adalah konsekwensi dari sikap. Tentu kita sangat pedih melihat semua ini. Perjuangan mana sih yang tidak menimbulkan korban? Nonton bola saja bisa menyebabkan jatuh korban! Kalau kita hanya menyoroti banyaknya korban, mungkin dahulu tidak ada perang perjuangan membebaskn penjajah dari tanah air yang menelan lebih banyak korban. Tapi yang lebih pedih dari itu adalah jika empati terhadap mereka terkikis termakan opini yang digiring para diktator bahwa mereka adalah ekstrimis dan teroris, lalu ikut-ikutan jadi mengecam mereka dan menuduh berbuat konyol dan ‘anjing-anjing neraka’.  Sementara ‘tukang jagalnya’ tak tersentuh sama sekali dari lidah dan pena mereka.

Para ulama yang menasehati rakyat Mesir untuk kembali ke rumah-rumahnya sangat layak diapresiasi, apalagi jika tujuannya untuk menyelamatkan darah dan jiwa mereka. Akan tetapi yang patut dipertanyakan juga adalah, apakah nasehat hanya berlaku kepada mereka. Saya melihat, pada masa sekarang ini, nasehat para ulama lebih penting diarahkan kepada para penguasa, baik yang langsung membantai, atau secara tidak langsung memberikan restu dan dukungan. Jadi ‘aneh’ kalau ada dua orang bertikai, kemudian nasehat hanya diarahkan kepada satu pihak, lebih aneh lagi, jika nasehat hanya diarahkan kepada yang dizalimi.

Seandainya para ulama secara massif memberikan nasehat kepada penguasanya, bukan cuma jadi bumper kebijakan-kebijakannya, maka para penguasa pun kan selalu menimbang-nimbang setiap kebijakannya agar selaras dengan prinsip-prinsip agama. Maka, kalau rakyat turun ke jalan memprotes kezaliman penguasanya, hal itu juga harus dilihat sebagai wujud dari mandegnya tugas ulama yang harus menasehati para penguasa. Jadi, dalam hal ini, para ulama pun harus dinasehati terkait sejauh mana peran mereka mengontrol para penguasa. Bukankah Rasulullah saw mengatakan, “Seutamanya jihad adalah menyampaikan yang haq di depan penguasa zalim.”

Tragedi di Mesir ini, tidak perlu terjadi apabila sejak awal Negara-negara Islam yang utama langsung mendukung total pemerintahan Mursi, tapi sayang seribu sayang, sikap mereka sangat jauh dari harapan. Kalau ingin tahu sikap mereka terhadap pemerintahan Mursi, lihat saja media massa resminnya yang tak lain merupakan corong mereka; Lebih jahat dari media barat sekalipun! Ironis, ketika Presiden Mursi terpilih, negeri Arab sangat terkesan ‘ogah-ogahan’ memberi dukungan, namun ketika junta militer berhasil mengkudeta mursi dan membentuk pemerintahan yang notabene dipegang orang sekuler, langsung mendapatkan dukungan. Sebegitu buruknyakah Mursi yang hafiz Quran disbanding Baradei dan Bablawi yang sekuler asli (Bahkan Baradei belakangan mengaku syiah). Sangat sulit bagi saya mendapatkan logikanya. Anehnya, yang getol memberikan dukungan dan pembelaan, bahkan hingga kini, justeru Erdogan, pemimpin muslim Turki yang  bukan Arab dan tidak memiliki ‘gudang’ ulama.

Masalah menyampaikan pesan secara tersembunyi pun saya melihat bukan sesuatu yang mutlak, bolehlah itu dikatakan sebagai prisip dasarnya, akan tetapi kondisi tertentu bisa jadi menyebabkan adanya tuntutan memberikan nasehat terhadap penguasa secara terang-terangan, apalagi jika disampaikan secara bijak dan tegas.  Umar bin Khattab pernah diprotes kebijakannya tentang pembatasan mahar secara terang-terangan. Kisah para salaf dan ulama terpercaya pun tidak sepi dari kisah bagaimana mereka bersikap tegas degan kezaliman penguasa. Misalnya ada ulama yang dikenal sebagai Sulthanul Ulama, yaitu Al-Izz bin Abdussalam, ketika penguasa Damaskuus hendak berkoalisi dengan pasukan salib untuk menyerang penguasa Mesir yang tak lain saudaranya sendiri, dengan lantang dia menentangnya, dia sampaikan hal itu di atas mimbar, akhirnya dia dicopot dari jabatan qadhi dan dipenjara. Ada juga kisah lainnya yang terkenal darinya yang terang terangan menentang kebijakan penguasa.

Bahkan di Saudi saya lihat di media-media sudah mulai lumrah memberitakan  kritikan-kritikan dari berbagai pihak atas kebijakan-kebijakan yang dianggap layak diluruskan. Bahkan belum lama beberapa ulama di Saudi rame-rame mendatangi beberapa departemen, seperti departemen pendidikan dan departemen tenaga kerja atas beberapa kebijakannya yang dianggap sebagai bertentangan dengan syariat. Mereka sih tidak menganggapnya demonstasi, tapi sebagai bentuk nasehat… Bahkan dibentuknya majelis syura Saudi salah satunya untuk mengontrol kebijakan pemerintah. Saya sering baca di media misalnya, majelis syura menyampaikan beberapa kritikannya terhadap kinerja pemerintah… Apakah mereka dapat disebut khawarij karena hal itu.

Intinya masalah politik adalah masalah yang sangat dinamis dan luas dimensinya, mengandalkan dalil-dalil normatif begitu saja tanpa mempertimbangkan kasus perkasus, akan jadi rumit sendiri. Dan jangan sampai pembicaraan siyasah syar’iah kita hanya seputar “Apa hukum demonstrasi” lalu mengambil semua kesimpulan hukum dari sana. Sekali-kali dibahas juga lah “Apa hukum penguasa yang diam atau bahkan mendukung kezaliman.” Atau “Apa hukum penguasa muslim yang berkolaborasi dengan kekuatan kufur untuk memberangus gerakan Islam..” atau “Apa hukum ulama yang diam saja melihat pembantaian terhadap kaum muslimin.” atau semacamnya…. Saya ingin katakan, bahwa tugas kita memang bukan hanya mengajak umat agar tidak menyembah kuburan, tapi juga agar mereka tidak menyembah AS dan sekutu-sekutunya. Kedua-duanya adalah syirik yang harus dibasmi. Inilah Tauhid!!

Wallahua’lam
Ustadz Abdullah Haidir, Lc.
Riyadh, Arab Saudi

 

Nyamuk di Kamar Kami

Di kamar yang ditinggali oleh saya, istri, dan anak memang sering ditemani oleh nyamuk. Sepertinya hal ini dipengaruhi posisinya yang ada di pojok belakang. Apalagi pada saat tidak ada hujan, nyamuk-nyamuk ini sungguh merepotkan kami, meskipun sudah dipagari dengan kawat anti nyamuk di jendela dan pintunya.

Sebetulnya bagi saya dan istri, adanya nyamuk ini biasa saja. Namun, bagi putri kami yang masih 5 bulan, ini jadi masalah. Ketika dia sedang asyik tidur, tiba-tiba menangis kencang. Kami kebingungan. Baru setelah digendong, kami menyadari ada jejak bentol nyamuk di badannya.

Yang membuat kami lebih jengkel, nyamuk ini lincah luar biasa. Tubuhnya kecil. Mampu berakrobat dengan sempurna di antara ayunan raket listrik. Maka, kami pun lebih sering pasrah jika masih ada nyamuk jenis ini.

Baru keesokan paginya, kami melihat nyamuk yang kurus tadi sudah menjelma menjadi nyamuk gemuk. Dan terbangnya sudah tak lihai lagi. Dia terlalu kenyang menghisap darah kami bertiga. Saat itulah, saya santai saja membunuhnya dengan raket listrik.

Nyamuk ini tidak tahu, bahwa kerakusan makannya mengantar ke kematiannya sendiri.

Menanti Berbuka

Berpuasa bagi sebagian orang adalah penundaan sementara atas berbagai keinginan. Karena semua ingin itu akan terbayar lunas ketika azan maghrib berkumandang. Bahkan seringkali terbayar lebih.

Hidangan berbuka tak cukup satu dua macam. Tak cukup hanya teh manis. Kalau bisa, es kelapa muda, es kopyor harus terhidang. Juga menu makan malam yang harus beraneka jenisnya. Yang di hari biasa tidak ada, kalau bisa diada-adakan. Tidak biasa makan ayam, pas Ramadhan harus ada ayam.

Kerakusan ini bukan hanya pada yang terhidang. Nafsu makan pun ikut mengiringi. Karena seharian tidak makan, artinya malam ini kita harus makan sebanyak mungkin. Padahal, kata Rasul 1/3 perut itu untuk makanan, 1/3-nya untuk minuman, dan 1/3 sisanya untuk udara.

Sedangkan bagi orang fakir miskin, setiap harinya adalah puasa. Azan maghrib pada Ramadhan tidak ada bedanya dengan azan maghrib di waktu lainnya. Mereka tidak tahu harus makan apa. Pekerjaan sudah sulit. Uang yang diperoleh sedikit. Harga kebutuhan semakin melejit.

Intinya puasa adalah mengendalikan. Jika kemudian kita gagal mengendalikan, bahkan diri kita sendiri, puasa kita hanya seremoni, di mana aktivitas yang kita lakukan hanya menanti berbuka.

Tuhan Tahu, tapi Menunggu

Tuhan tahu, tapi menunggu [Leo Tolstoy]

Salah satu keinginan saya yang belum tercapai ketika SMP adalah naik kereta api. Tempat tinggal saya dekat dengan stasiun, tapi belum pernah sekalipun saya bepergian dengan kereta api. Keluarga kami jarang bepergian. Selain tidak ada kendaraan, orang tua juga jarang mengajak kami berlibur jauh. Hanya beberapa kali keluarga dalam rentang tahun yang lama kami mengunjungi saudara di Jakarta. Itupun menggunakan mobil travel.

Pernah saya malu bergaul dengan teman-teman karena belum pernah naik kereta api. Mungkin terasa aneh, tapi bagi anak seusia itu, hal-hal remeh sangat penting dalam pergaulan. Saya sempat pesimis saya akan pernah naik kereta karena rekam jejak bepergian yang sangat minim.

Tiba-tiba, saat kelas 1 SMA, sekolah mengirimkan saya mengikuti lomba matematika di IPB. Dan kami ke sana dengan kereta api! Kemudian, kesempatan lain datang seperti tidak diduga. Belum setahun kuliah, saya sudah merasakan naik pesawat. Kali ini dalam rangka mewakili kampus mengikuti suatu perlombaaan.

Berikutnya, Allah kasih saya ke luar negeri dan beberapa daerah di nusantara. Dan saya tidak perlu mengeluarkan uang untuk itu. Dari seluruh banyak doa dan harapan kita, Tuhan selalu mendengar. Dia hanya sedang menunggu waktu yang tepat bagi kita untuk menerimanya.

Transaksi Nurani

Tidak begitu ingat, mungkin akhir SD atau awal SMP, setiap pulang sekolah ada seorang penjual kerupuk yang lewat di depan rumah. Penjualnya wanita tua. Melihat keriput kulit dan putih rambutnya, usianya sekitar 60-an tahun. Kami memanggilnya ‘mbah’. Barang jualan mbah adalah kerupuk gender. Siang terik jualan kerupuk, tidak menarik bagi kebanyakan orang yang lebih menanti minuman segar atau semacamnya.

Lebih dari sekali dua kali, ibu atau bapak meminta kami memanggil mbah untuk membeli kerupuknya. Seusia saya saat itu, merasa bingung dengan apa yang dilakukan oleh ibu maupun bapak. Kerupuk di kaleng masih ada. Buat apa beli-beli kerupuk lagi? Kan sayang dengan uangnya.

Hingga kemudian, saya menyadari bahwa membeli kerupuk gender itu bukan karena kami perlu membelinya. Ada pesan yang ingin diajarkan bagi kami, dalam jual beli tidaklah harus bahwa kami memerlukannya. Atau bersandar pada kepentingan untung rugi. Kadang dengan membeli, kita bisa membantu. Kita ingin menunjukkan, kita menghargai kerja kerasnya.

Dengan kondisi serenta itu, adalah berhak baginya untuk meminta bantuan tanpa perlu berdagang. Namun, dia punya harga diri untuk tidak membiarkan dirinya menjadi pengemis. Kemuliaan inilah yang sedang kami apresiasi, meski nilainya jauh lebih tinggi dari harga kerupuk yang kami beli.

Yang Berkesan

Suatu waktu, saya bersama adik pulang ke Tegal dari Stasiun Gambir. Ketika masuk ke dalam kereta Cirebon Express, yang kami tumpangi, kami berpapasan dengan seseorang yang menggunakan Kaos Galgil. Dengan wajah sok penasaran, saya dekati orangnya. Kemudian, terjadilah percakapan, seolah-olah saya tertarik dengan kaos yang dipakainya. Tanpa saya duga, orang ini semangat betul menceritakan kaos yang dia pakai. Tempat di mana dia belinya. Harga kaosnya. Hingga dia berani menjamin bahwa kualitas kaosnya itu adem, enak dipakai, dan tahan lama. Seakan-akan dia mengajak saya untuk tidak ragu membelinya. Saya tersenyum, kemudian mengiyakan.

Ada banyak hal menarik dalam hidup saya. Namun, bertemu dengan seseorang yang menggunakan produk kaos yang kami kelola, itu rasanya luar biasa. Apalagi, mereka mempromosikannya dengan begitu semangatnya. Ada yang mengabadikan dalam bentuk foto kemudian menge-tag ke facebook kami.

Bukan sekali dua kali saya menemui orang-orang berbuat demikian. Itu menambah keyakinan saya, bahwa bisnis bukan sekedar mencari keuntungan. Kami menikmatinya. Setiap detik demi detik prosesnya. Langkah-langkah pelajaran yang kami peroleh. Semuanya. Sungguh, luar biasa mengesankan.

Anda berani mencoba? 😀

Anugerah Kebaikan yang Terjaga Kesuciannya

21 Februari 2013

Pukul 02.00

Istri membangunkan saya. Air ketubannya pecah. Segera saya bangun, kemudian mencari taksi. Baru 20 menit saya bisa memperoleh taksi. Setibanya di kontrakan, ternyata istri sudah menghubungi adiknya untuk menjemput menggunakan mobil. Akhirnya kami bergegas menuju ke RS Budi Kemuliaan, Jakarta Pusat. Setelah dicek di UGD, istri kemudian dibawa ke ruangan inap.

Pukul 09.00

Dokter kemudian memutuskan melakukan induksi. Air ketuban sudah keluar banyak, tapi masih pembukaan pertama. Perihnya luar biasa. Istri kesakitan. Menahan sakit. Meremas-remas tangannya. Juga tangan saya sendiri. Tetap dengan kalimat istighfar. Awalnya tiap 20 menit. Hingga mendekati pukul 11.30, sakitnya sudah tiap 2 menit.

Pukul 11.55

Tanda-tanda akan lahir sudah mulai muncul. Istri segera dipindahkan ke ruang persalinan. Saya tegang. Pengalaman pertama sekaligus memang hanya kami berdua yang ada di RS. Entah dorongan dari mana, ternyata saya berani masuk ke ruang persalinan untuk melihat istri melahirkan! Melihat darahpun kepala saya pusing, tapi ini kok malah berani. Ajaib 😀

Dokter sudah masuk ke ruangan. Tepat pukul 12.00 saya menelepon ibu, bapak, adik dan mertua. Meminta doa restu karena istri sedang berada di antara hidup dan matinya. Saya masuk kembali ke ruangan. Tegang. Dokter meminta istri untuk mengejan. Saya mengiringi dengan kalimat “la haula wa la quwwata illa billah”. Membisiki istri untuk tetap ingat Allah. Dokter meminta istri mengejan lagi. Kepala si kecil sudah nongol. Terus, kata dokter. Dan di pengejanan ketiga, si kecil berhasil keluar dengan selamat. Pukul 12.07. Alhamdulillah….

Haru benar perasaan saya. Langsung bersujud syukur di ruangan itu. Lafaz hamdalah terus meluncur. Proses persalinan si kecil berlangsung dalam tempo yang singkat. Sangat singkat. Dan alhamdulillah bisa melahirkan dengan normal. Padahal, saat awal kami sempat cemas harus sesar karena mata istri sudah minus 8.

22 Februari 2013

Ini waktunya kami mengumumkan namamu nak ke seluruh dunia:

CARISSA HUSNA AFIFAH

Doa kami supaya engkau menjadi ANUGERAH KEBAIKAN DARI ALLAH YANG TERJAGA, BAIK IMANNYA, AKHLAKNYA, JUGA AKALNYA

*tulisan ini dibuat sebagai kado aqiqahmu hari ini nak. jadi hamba yang sholehah ya nak 😀

Image

Lemari Baju

Lemari baju di rumah saya ternyata sudah penuh isinya. Tiap hari saya buka, tapi baru kali ini menyadarinya. Mau tak mau, saya pun menyelidiki isi tumpukan itu.

Mengambil helai demi helai, membangkitkan kembali memori saya. Baju batik ini saya beli di sana. Kaos ini adalah oleh-oleh dari kota itu. Kaos yang ini suvenir dari ikut pelatihan.

Dan banyak dari stok di lemari itu yang ternyata sangat jarang saya pakai. Kenyataannya, hanya baju dan celana itu itu saja yang sering saya gunakan. Akhirnya segera saya kemasi isi lemari yang sudah jarang dipakai itu. Dengan memberikannya kepada orang lain, mungkin akan jauh berguna, lebih bermanfaat untuk dikenakan.

Melihat perilaku itu, saya berpikir, tabiat saya ini kok cenderung rakus ya. Perlu hanya beberapa helai baju, tapi serakah menumpuknya. Bahkan akhirnya menyiakannya.

Saya juga prihatin dengan kedermawanan saya. Ternyata masih artifisial, masih rendah mutunya. Berbagi kalau sudah tak memerlukannya lagi. Padahal, kualitas berbagi yang tinggi diperoleh kalau memberikan yang terbaik. Bukan yang sisa.

Berarti puasa yang sudah saya jalani bertahun-tahun ini bisa jadi tidak memberikan pengaruh apa-apa. Saya tidak bisa mengendalikan diri. Bahkan untuk hal-hal yang sepele, hanya urusan baju. Belum urusan masyarakat, ekonomi, budaya, pendidikan, masa depan bangsa dan negara.

Angkringan++

Ke Jogja kali ini bukan pertama kalinya. Tapi kedatangan kali ini menyisakan cerita yang istimewa. Sejak sampai di jogja pertama kali, badan sudah berasa nggak enak. Apalagi kemudian digelontor AC seharian semalaman. Jadi, badan sudah berasa nggak karuan.

Untung tubuh saya bukan termasuk golongan manja. Masuk angin seperti ini obatnya nggak susah. Dari pengalaman, cukup minum teh panas atau susu jahe, maka angin akan keluar dengan sendirinya 😀

Tapi, tampaknya masuk angin ini lebih ganas dari biasanya. Jor-joran air hangat tidak mempan. Bahkan, pundak dan leher sebelah kanan jadi sangat kaku dan sakit.

Pada malam terakhir di jogja, bersama seorang kawan, kami pun mencari angkringan susu jahe. Berharap bisa membantu mengeluarkan angin bandel ini. Ketemulah kami dengan sebuah angkringan di depan kantor Kedaulatan Rakyat.

Awalnya terlihat biasa. Pesan minuman, lantas ngobrol ringan. Sampai kemudian, kami tahu bahwa si penjual ini orang Brebes. Setelah berbincang singkat, si penjual mengetahui bahwa leher dan pundak saya kaku karena masuk angin. Tanpa disangka, dia menawari mengerik punggung saya.

Awalnya ragu, tapi dia bilang tawarannya serius. Akhirnya, partner angkringan saya membelikan balsem. Dan, dimulailah peristiwa aneh itu: kerikan di angkringan 😀

Angkringannya tidak terlalu ramai saat itu. Sebetulnya risih, karena masih ada pandangan aneh dari pengunjung angkringan sebelah; meskipun agak jauh. Namun, karena badan memang sudah nggak karuan, pasang muka badak akhirnya 😀 Hasilnya bener-bener josss. Badan langsung enakan

Lepas dari apakah kerikan itu bagus atau tidak bagi tubuh, saya belajar banyak dari penjual ini. Keramahan untuk menawarkan kebaikan kepada orang yang baru dikenal. Kesediaan untuk meminta istrinya tidak bekerja, tetap di Brebes, mengurus anaknya yang baru berusia 1 tahun, memberinya ASI. Kemauannya bekerja keras, malam menjual angkringan, pagi buta menjadi penjual koran di persimpangan lampu merah.

Terima kasih Jogja. Saya belajar banyak kali ini