Surat Ayah

Halo Bunda dan Carissa,

Apa kabar hari ini? Kalau ayah, alhamdulillah baik-baik saja, meskipun di sini jauh lebih dingin dari settingan AC di kamar kita, yang biasanya 25 Celcius.

Bun,

Hari ini tepat setahun Carissa bersama kita. Ayah masih ingat setahun lalu saat bunda membangunkan ayah dini hari, bilang air ketuban sudah keluar. Juga saat ayah hadir di ruang persalinan menemani bunda mengejan. Padahal bunda tahu, ayah nggak kuat melihat darah. Tapi saat itu, ayah malah kuat berdiri melihat Carissa lahir.

Bun,

Ayah menyaksikan sendiri bagaimana bunda punya tenaga, perhatian dan kesabaran yang tidak ada habisnya merawat Carissa, sejak hari pertamanya lahir di dunia. Padahal bunda kerja sampai sore, bahkan malam. Tapi sepulang kantor, masih bisa bermain dan tertawa riang menemani Carissa. Bunda juga sering menunda makan malam karena begitu sampai di rumah, Carissa merajuk minta ASI. Dan bunda melakukannya dengan gembira, tanpa mengeluh lelah dan sebagainya. Terima kasih banyak.

Carissa,

Hadirmu adalah anugerah bagi ayah dan bunda. Tertawamu, menangismu, gaya merajukmu, juga senyuman menggemaskanmu. Semuanya nak. Sejak kamu mulai berdiri dan belajar berjalan nak, ayah semakin bertambah senang. Sekarang, kamu semakin mulai mengerti dan penasaran akan banyak hal. Bertanya dan menunjuk ini itu. Ayah lelah, tapi senang menemanimu berjalan dari bolak-balik dari belakang ke depan rumah.

Carissa,

Ayah menyadari masih jauh ayah dari figur seorang ayah yang ideal. Ayah juga minta maaf tidak bisa menemanimu saat ini dan hari-hari ke depan. Baik-baik sama bunda ya nak. Kalau rewel, jangan lama-lama. Baik-baik juga sama eyang, nin, ontie, om. Kalau ayah sudah pulang, kita jalan-jalan pagi keliling komplek lagi, sambil melihat kucing dan burung.

Salam kangen,

Ayah

#BASUH

sore-sore mau berbagi cerita buat teman-teman tentang #BASUH oleh kami di @kumpulbakulTGL

apa itu #BASUH? #BASUH adalah singkatan dari Bagi-bagi Susu Hangat. buat siapa? dhuafa di Tegal sekitarnya

kapan #BASUH diadakan? kegiatannya kami rutinkan tiap kamis malam. meskipun tidak selalu malam, karena ada relawan wanita juga

kok bagi-bagi makanan gitu? apa nggak bisa ngasihnya yang lebih produktif lagi? buat modal usaha kan lebih bermanfaat tuh #BASUH

kami sedang melakukan apa yang kami bisa. mulai yang kecil dulu. karena kegiatan ini semuanya swadaya. nggak ada yang dibayar #BASUH

di hari pembagian, kami sendiri yang mengelilingi Tegal, mencari dhuafa. kemudian membagikan susu dan roti untuk mereka #BASUH

suatu waktu, dhuafanya adalah gelandangan yang sepuh dan tidur di emperan toko. lain waktu, untuk tukang becak #BASUH

seteguk susu hangat dan roti, mudah-mudahan bisa menemani malam dingin mereka. jarang-jarang juga mereka bisa makan roti enak dan minum susu

apa harus semuanya turun ke jalan? nggak kok. saya yang tinggal di jakarta sekarang juga bisa gabung di #BASUH

lho, gimana caranya? yang belum bisa turun langsung, bisa berinfaq. berapapun itu, kami terima. kami menjamin semuanya didistribusikan

tidak ada satu rupiahpun uang donatur #BASUH untuk kegiatan operasional. itu ngambil dari kantung masing-masing

apa nggak rugi begitu? kami malu, sama Tuhan kok kebanyakan itung-itungan. dijalanin aja. niatnya bismillah.. #BASUH

malam ini insya Allah bergerak lagi. tujuannya ke arah selatan Tegal. silakan kontak ke mas @indrawans atau mas @AWEntrepreneur

mohon maaf sudah mengganggu linimasa teman-teman. pareng 🙂 #BASUH

Memberi yang Terbaik

Jika Anda sekarang atau nanti menjadi orangtua, apa yang ingin Anda berikan kepada anak? Jawabannya pasti sama. Akan memberikan yang terbaik. Apa itu yang terbaik?

Orang tua saat ini sudah membekali anak balitanya dengan gadget terbaru. Supaya tidak ketinggalan zaman, katanya. Dulu saya hanya bisa iri melihat tetangga saya punya video game terbaru, sekarang saya tidak ingin anak saya menderita seperti saya, kata yang lain lagi. Maka, anak-anak itu asyik dengan gadget-nya. Di manapun dia berada. Kalau sang anak mulai rewel atau ngambek, cukup berikan gadget dan dia akan segera diam.

Anak-anak diberikan fasilitas terbaik yang orang tuanya miliki dan sanggup beli. Untuk apa kerja keras tiap hari kalau hasilnya tidak diberikan kepada anak, begitu pembenarannya. Kalau anak hendak pergi ke suatu tempat, orang tua sudah menyiapkan mobil. Untuk kenyamanan dan keamanan, katanya. Sekolah anak pun harus dipilihkan yang terbaik, yaitu yang paling mahal, yang gurunya punya background kampus bonafid, apalagi dari luar negeri.

Saya dididik dengan banyak ketidakmudahan fasilitas dari orang tua. Kami anak-anaknya dibiasakan naik sepeda sejak kelas 5 SD. Tidak dibolehkan membeli nintendo atau games semacamnya. Bahkan dari uang tabungan kami sendiri. Kami baru bisa membeli komputer saat kelas 2 SMA, sebagian besar dari iuran tabungan saya dan adik. Kami diberikan uang saku per bulan sejak SMP, dan tidak ada tambahan lagi jika uang sakunya habis. Saya harus mengirit uang jajan untuk bisa membeli buku pelajaran atau koran Bola. Bapak juga membiarkan kami mendaftar SMP dan SMA sendiri tanpa diantar dan ditemani, juga saat kami mengikuti bimbingan belajar di Depok untuk SNMPTN.

Apa orang tua kami tidak punya uang lebih untuk anak-anaknya? Saya yakin mereka berdua memiliki, meskipun tidak banyak. Apa orang tua kami tidak sayang sehingga sering membiarkan anak-anaknya mengurus sesuatunya sendiri? Saya yakin mereka sangat menyayangi kami. Dan cara itulah yang mereka lakukan untuk mendidik dan menyayangi kami berdua. Tidak dengan memberikan banyak mainan dan kemudahan. Tapi dengan membuat kami prihatin, mandiri dan mau bekerja keras.

Tidak ada jaminan apa yang dilakukan oleh orang tua kami adalah hal yang paling benar, dan orang tua lain yang memfasilitasi anaknya adalah keliru. Saya sedang mengingatkan diri saya sendiri, bahwa tidak ada jaminan bahwa memberi yang terbaik kepada anak kita adalah dengan memudahkan hidupnya dengan aneka fasilitas. Mungkin, dengan ‘menyusahkannya’ dengan berjuang, akan lebih baik untuk masa depannya kelak.

*sudah sembilan bulan usiamu hari ini nak. semoga ayah dan bundamu bisa menjadi orang tua yang sholeh sehingga bisa mendidikmu menjadi anak yang sholehah. aamiin…*

Kelirumologi Nama Istri

Mau membagi beberapa hal yang kemarin saya tweet di @akhdaafif tentang apa yang saya pahami hukumnya menambahkan nama suami di belakang nama asli istri. Semoga bermanfaat bagi saya dan rekan-rekan

1. buat perempuan, islam melarang menggunakan nama suami ditambahkan di namanya lho. yang boleh cuma nama ayah. ada yang baru tahu? 😀

2. hukumnya memang dilarang untuk menyertakan nama suami di belakang istri. salah satu bahasannya: http://www.eramuslim.com/ustadz-menjawab/pemakaian-nama-selaian-nama-ayah.htm

3. setelah menikah, saya tidak pernah meminta istri untuk menambahkan nama saya di belakang namanya. jadi tetap: Syifa Kifahi

4. dalam masyarakat kita, memang nama panggilan istri biasa dinisbatkan ke suaminya. misal, istri saya nanti dipanggil Bu Afif

5. ya kalau adatnya begitu, kita tetap mengenalkan nama panggilan istri, dan minta dipanggil nama istri. semampu kita berusaha aja

6. kecuali di tempat yang kita punya wewenang penuh.misalnya: akun socmed.minta istri memakai nama aslinya saja,tanpa embel-embel nama kita

7. salah satu hikmah yang bisa saya dapat dari aturan itu adalah karena tidak ada namanya mantan anak. kalo mantan suami, kan ada tuh

8. dalam islam, nasab punya peran penting. misal, untuk penentuan waris. juga untuk pernikahan, sebagai wali atau yang haram dinikahi

9. sepele sih. tapi saya lihat sering diabaikan. khususnya teman-teman sebaya yang beberapa kali saya temui, dan juga dalam candaan

Nilai Sebanding

siapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)-nya. dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)-nya pula [Al Zalzalah: 7-8]

Ketika masih SD, teman-teman sering bertanya kepada saya, kenapa saya hampir selalu dapat ranking 1 di kelas. Saya jawab saja: karena saya belajar. Hampir setiap sore atau malam sepulang sekolah, materi hari itu dibaca lagi. Jika ada PR, langsung dikerjakan. Apa yang dilakukan oleh teman-teman saya? Waktu sore dan malam mereka habis dipakai untuk bermain nintendo, sega, atau dingdong di marina. Lainnya? Menonton televisi tiada habisnya. Akibatnya: PR dikerjakan di sekolah, dan buka buku kalau besok ulangan. Apa saya tidak bermain? Tentu saja bermain. Bermain bola di sore hari, main dingdong, atau main nintendo. Untuk dua yang terakhir, sangat jarang, belum tentu sepekan sekali.

Beranjak kuliah, saya masih menggunakan metode yang sama. Tapi, hasil yang diperoleh tidak sama. Sedangkan kasat mata, saya melihat teman kampus yang santai, selalu dapat nilai yang jauh lebih baik daripada saya. Lantas, saya merenung, hingga sampai pada sebuah kesimpulan. Saya memang rutin belajar. Tapi, materinya jauh lebih sulit dan kemampuan otak saya untuk menyerap materi kuliah berbeda dengan saat SD. Teman yang terlihat santai, ia pasti belajar. Waktu belajarnya mungkin sama dengan saya. Tapi kemampuan otaknya jauh lebih hebat memahami materi. Maka yang perlu saya lakukan adalah membuat belajar menjadi lebih efektif dan menambah jam belajar. Biasa jam 10 malam tidur, kemudian menjadi jam 12 malam. Pada waktu luang yang ada, saya paksakan untuk sekedar membaca slide kuliah atau mengerjakan tugas meski hanya 1 nomor.

Orang-orang yang saat ini, menurut pendapat kita atau orang lain dikatakan sukses, entah dalam sekolah, berkarir, berdagang, berumahtangga, dan sebagainya; keberhasilan itu diperoleh tidak dengan mudah. Mereka belajar lebih banyak. Pulang sekolah, digunakan untuk belajar. Hari libur dimanfaatkan dengan membaca, mengerjakan tugas, atau sekedar membuka kembali materi yang sudah pernah diajarkan.

Karir yang berhasil juga dibangun dari kerja keras. Bekerja lebih lama dari waktu kerja normal. Berlatih hal baru. Membuka jaringan yang tidak hanya teman seruangan atau rekan kantor dan kuliah. Tidak hanya membuka, tetapi jaringan itu dikelola. Rutin disapa, direspon, juga berkumpul di lokasi strategis. Kesuksesan juga lahir dari spiritual yang intensif. Sholatnya lebih khusyuk. Infaqnya total, nggak milih-milih uang ketika buka dompet. Sholat dhuhanya, sholat tahajudnya, qobliyah dan ba’diyah nggak pernah tertinggal. Amalannya ditambah dengan berbakti sama orang tua, hormat sama guru, ramah dengan teman.

Kemudian, kita bertanya. Kita sudah belajar, bekerja, dan berdoa sangat maksimal. Kenapa Allah nggak kasih hasilnya? Mungkin, definisi “sangat maksimal” kita masih belum maksimal. Seperti peristiwa pada diri saya di atas. Saya sudah merasa maksimal saat awal kuliah. Tapi, batas maksimal yang saya pakai sama seperti saat SD. Padahal, waktu dan lokasi sudah tidak setara, not apple to apple.

Jika ada orang yang tidak belajar, tidak tekun, tidak beribadah, tapi posisinya mentereng dan hartanya melimpah; janganlah kita berkecil hati. Mungkin orang tuanya, kakek buyutnya, atau generasi-generasi sebelumnya yang paripurna menyelesaikannya. Atau, mungkin Allah sedang meng-istdraj-kan. Dikasih seluruhnya, kemudian sekonyong-konyong dicampakkan sehina-hinanya.

Kita tidak pernah tahu takdir Allah yang akan menimpa siapapun. Yang bisa kita lakukan adalah menyeriuskan apa yang kita lakukan; semua doa dan kerja keras kita. Gusti Allah mboten sare, Dia akan menghitung semuanya. Dengan sangat adil. Jangan khawatir.

Fiqh Waris (Pertemuan Ketiga)

bismillah, mau berbagi #ngaji tentang waris siang tadi di masjid kantor @kemkominfo. pertemuan kali ini adalah yang ke-3 dari 14 pertemuan

pada dua pekan lalu, ustadz-nya sakit. pekan sebelumnya, jadwal beliau ngisi di tempat lain #ngaji

pembagian waris dalam islam dilakukan berdasarkan tiga sebab, yaitu: nikah, wala’, dan nisab hakiki #ngaji

pewarisan karena nikah artinya nikah di sini adalah yang memenuhi syarat dalam hukum islam #ngaji

ada fatwa nikah thalaba’ yang dikeluarkan oleh mufti mesir ali jumu’ah. hukum pernikahannya adalah tidak sah #ngaji

nikah thalaba’ adalah nikah yang dilakukan oleh mahasiswa di mesir, yang setelah menikah, kebutuhannya masih ditanggung oleh keluarga #ngaji

si laki-laki ditanggung oleh keluarga laki-laki, demikian juga si perempuan. dan keduanya tinggal terpisah, di masing-masing keluarga #ngaji

bagi pasangan yang bercerai, bagi masing-masing masih ada hak warisnya selama cerainya belum jatuh talak tiga #ngaji

anak yang diperoleh dari pasangan bercerai tetap memperoleh hak waris, meskipun cerai talak tiga #ngaji

karena itu, hati-hati dalam mengurus perceraian. pastikan betul akad talaknya, untuk talak cerai berapa #ngaji

tidak cuma untuk penentuan hukum waris saja. untuk talak pertama dan kedua, masih dapat rujuk tanpa ada syarat tertentu #ngaji

bagi pasangan yang cerai talak tiga,baru boleh rujuk jika setelah ‘iddah,pihak wanita menikah lagi,dan maaf,sudah berhubungan badan #ngaji

setelah dia bercerai dengan pasangan keduanya, baru boleh dia rujuk kembali dengan suami sebelumnya #ngaji

adapun jika ada rekayasa untuk bercerai dari suami kedua ini, maka hukum pernikahan kedua dan ketiganya tidak sah. jatuhnya ke zina #ngaji

kedua adalah pewarisan karena wala’, yaitu berlaku pada budak. saat ini, tidak berlaku lagi karena tidak ada budak #ngaji

jadi, yang memerdekakan budak, memiliki hak waris atasnya. contohnya Umar ra yang punya hak waris atas Bilal #ngaji

maaf, yang membebaskan Bilal ra bukan Umar ra, tetapi Abu Bakar ra #ngaji

ketiga adalah pewarisan karena nasab hakiki. ini karena hubungan darah: orang tua, saudara kandung, anak, paman dan sebagainya #ngaji

ilmu waris menggunakan dua kaidah: kaidah fiqh dan kaidah hitungan, untuk mengetahui hak waris setiap ahli waris #ngaji

dalam pernikahan, harta waris dari orang tua istri ke istri tidak otomatis menjadi milik suami #ngaji

di dalam islam, kepemilikan harta diakui berdasarkan kepemilikannya. islam tidak mengakui adanya harta gono-gini #ngaji

dalam sebuah pernikahan, harta suami belum menjadi hak milik istri, kecuali sudah diakadkan demikian #ngaji

misalnya, suami membeli mobil untuk istrinya. namun bpkb dan stnk masih atas nama suami. maka, istri hanya punya hak pakai #ngaji

jika suami meninggal, mobil itu masuk ke dalam harta yang diwariskan untuk ahli warisnya, tidak otomatis menjadi milik istri #ngaji

muslimah yang cerdas akan meminta hak mobil itu secara penuh, yaitu dengan meminta izin suami mengganti bpkb dan stnk atas nama istri #ngaji

bagi anak yang dihasilkan di luar pernikahan, maka baginya tidak ada hak waris dari kedua orang tua kandungnya #ngaji

demikian juga kedua orang tua kandungnya. mereka tidak punya hak waris atas si anak jika si anak meninggal terlebih dahulu #ngaji

anak ini nasabnya tidak diikutkan kepada sang ayah, tetapi kepada ibunya #ngaji

jika si anak ini perempuan dan menikah, maka si ayah, paman, adiknya, tidak boleh menjadi wali #ngaji

walinya harus wali hakim karena si anak tidak ada garis nasabnya #ngaji

jadi mohon diingatkan jika ada keluarga, tetangga, teman yang kita ketahui bahwa dia atau anaknya akibat hamil di luar nikah #ngaji

tidak ada haknya atas waris juga tidak ada perwalian pernikahan baginya #ngaji

tapi si anak boleh menerima hadiah dari orang tuanya, yang besarnya tidak boleh lebih dari 1/3 harta yang akan diwariskan #ngaji

demikian berbagi #ngaji yang saya peroleh di kantor hari senin kemarin. semoga bermanfaat bagi kita semua. maaf mengganggu linimasa 😀

Email dari Pak Anies

pagi ini ketika membuka email yahoo saya, ada pesan masuk baru yang membuat saya terkejut. pengirimnya: Anies Baswedan. menurut saya, ini broadcast email. tapi, pesan yang tertulis di dalamnya menyentuh semangat pagi saya. saya mengenal beliau sebagai pribadi yang semangat, memiliki mimpi dan tindakan nyata untuk membangun negeri ini. saya sepakat bahwa ujian kepemimpinan adalah ketika ambil bagian di dalamnya, bukan sekedar meneriakkan idealisme di luar. semoga Allah meridhoi misi mulia Pak Anies. aamiin…

Assalamu’alaikum wr wb dan salam sejahtera.

Kepada Yth Akhda Afif Rasyidi
Di tempat

Semoga email ini menemui teman-teman dalam keadaan sehat wal afiat dan makin produktif.

Saya menulis surat ini terkait dengan perkembangan baru yang datangnya amat cepat. Saya merasa perlu untuk mengirimkan surat ini secara pribadi karena selama ini kita telah bekerja bersama baik di Kelas Inspirasi atau Indonesia Menyala atau kegiatan lain sebagai bagian dari Gerakan Indonesia Mengajar. Selama ini kita telah sama-sama ikut aktif menata masa depan Indonesia tercinta. Ikhtiar ini, sekecil apapun kini, Insya Allah akan punya dampak yang besar di kemudian hari.

Beberapa waktu yang lalu, saya diundang untuk turut konvensi. Saya diundang bukan untuk jadi pengurus partai, tetapi untuk diseleksi dan dicalonkan dalam pemilihan presiden tahun depan. Saya semakin renungkan tentang bangsa kita, tentang negeri ini.

Para pendiri Republik ini adalah kaum terdidik yang tercerahkan, berintegritas, dan berkesempatan hidup nyaman tapi mereka pilih untuk berjuang. Mereka berjuang dengan menjunjung tinggi harga diri, sebagai politisi yang negarawan. Karena itu mereka jadi keteladanan yang menggerakkan, membuat semua siap turun tangan. Republik ini didirikan dan dipertahankan lewat gotong royong. Semua iuran untuk republik: iuran nyawa, tenaga, darah, harta dan segalanya. Mereka berjuang dengan cara terhormat karena itu mereka dapat kehormatan dalam catatan sejarah bangsa ini.

Kini makna “politik” dan “politisi” terdegradasi, bahkan sering menjadi bahan cemoohan. Tetapi di wilayah politik itulah berbagai urusan yang menyangkut negara dan bangsa ini diputuskan. Soal pangan, kesehatan, pertanian, pendidikan, perumahan, kesejahteraan dan sederet urusan rakyat lainnya yang diputuskan oleh negara. Amat banyak urusan yang kita titipkan pada negara untuk diputuskan.

Di tahun 2005, APBN kita baru sekitar 500-an triliun dan di tahun ini sudah lebih dari 1600 triliun. APBN kita lompat lebih dari tiga kali lipat dalam waktu kurang dari delapan tahun. Kemana uang iuran kita semua digunakan? Di tahun-tahun kedepan, negara ini akan mengelola uang iuran kita yang luar biasa banyaknya. Jika kita semua hanya bersedia jadi pembayar pajak yang baik, lalu siapa yang jadi pengambil keputusan atas iuran kita?

Begitu banyak urusan yang dibiayai atas IURAN kita dan atas NAMA kita semua. Ya, suka atau tidak, semua tindakan negara adalah atas nama kita semua, seluruh bangsa Indonesia. Haruskah kita semua membiarkan, hanya lipat tangan dan cuma urun angan?

Di negeri ini, lembaga dengan tata kelola yang baik dan taat pada prinsip good governance masih amat minoritas. Mari kita lihat dengan jujur di sekeliling kita. Terlalu banyak lembaga, institusi dan individu yang masih amat mudah melanggar etika dan hukum semudah melanggar rambu-rambu lalu lintas. Haruskah kita menunggu semua lembaga itu beres dan “bersih” baru ikut turun tangan?

Jika saya tidak diundang, maka saya terbebas dari tanggung-jawab untuk memilih. Tapi kenyataannya saya diundang walau tidak pernah mendaftar apalagi mengajukan diri. Dan saya menghargai Partai Demokrat karena -apapun tujuannya- faktanya partai ini jadi satu-satunya yang mengundang warga negara, warga non partisan. Di satu sisi, Partai Demokrat memang sedang banyak masalah dan persepsi publik juga amat rendah. Di sisi lain konvensi yang dilakukan oleh Partai Demokrat adalah mekanisme baik yang seharusnya juga ada di semua partai agar calon presiden ditentukan oleh rakyat juga.

Saya pilih untuk ikut mendorong tradisi konvensi agar partai jangan sekedar menjadi kendaraan bagi kepentingan elit partai yang sempit. Kini semua harus memperjuangkan agar konvensi yang dilaksanakan oleh Partai Demokrat ini akan terbuka, fair dan bisa diawasi publik. Saya percaya bahwa penyimpangan pada konvensi sama dengan pengurasan atas kepercayaan yang sedang menipis.

Undangan ini untuk ikut mengurusi negara yang kini sedang dihantam deretan masalah, yang hulunya adalah masalah integritas dan kepercayaan. Haruskah saya jawab, “mohon maaf saya tidak mau ikut mengurusi karena saya ingin semua bersih dulu, saya takut ini cuma akal-akalan. Saya ingin jaga citra, saya ingin jauh dari kontroversi, saya enggan dicurigai dan bisa tak populer?” Bukankah kita lelah lihat sikap tidak otentik, yang sekedar ingin populer tanpa memikirkan elemen tanggungjawab? Haruskah saya menghindar dan cari aman saja? Saya sungguh renungkan ini semua.

Saat peringatan Hari Kemerdekaan 17 Agutus 2013 adalah hari-hari dimana saya harus ambil keputusan. Saat itu saya menghadiri upacara di Istana Merdeka, bukan karena saya pribadi diundang, tetapi undangan ditujukan pada ahli waris AR Baswedan, kakek kami, dan kami yang berada di Jakarta. Jadi saya dan istri hadir mewakili keluarga.

Seperti biasa bendera merah putih itu dinaikkan dengan khidmat diiringi gelora Indonesia Raya. Dahulu bendera itu naik lewat jutaan orang iuran nyawa, darah dan tenaga hingga akhirnya tegak berkibar untuk pertama kalinya. Menyaksikan bendera itu bergerak ke puncak dan berkibar dengan gagah, dada ini bergetar.

Sepanjang bendera itu dinaikkan, ingatan saya tertuju pada Alm. AR Baswedan dan para perintis kemerdekaan lainnya. Mereka hibahkan hidupnya untuk memperjuangkan agar Republik ini berdiri. Mereka berjuang “menaikkan” Sang Merah-Putih selama berpuluh tahun bukan sekedar dalam hitungan menit seperti saat upacara kini. Mereka tak pilih jalur nyaman dan aman. Mereka juga masih muda, namun tidak ada kata terlalu muda untuk turun tangan bagi bangsa. Berpikir ada yang terlalu muda, hanya akan membawa kita berpikir ada yang terlalu tua untuk turun tangan. Mereka adalah orang-orang yang mencintai bangsanya, melebihi cintanya pada dirinya.

Suatu ketika saya menerima sms dari salah satu putri Proklamator kita. Ia meneruskan sms berisi Sila-Sila dalam Pancasila yang dipelesetkan misalnya “Ketuhanan Yang Maha Esa” diubah jadi “keuangan yang maha kuasa” dan seterusnya. Lalu ia tuliskan, “Bung Anies, apa sudah separah ini bangsa kita? Kasihan kakekmu dan kasihan ayahku. Yang telah berjuang tanpa memikirkan diri sendiri, akan ‘gain’ apa.”

Kini, saat ditawarkan untuk ikut mengurusi negara maka haruskah saya tolak? sambil berkata, mohon maaf saya ingin di zona nyaman, saya ingin terus di jalur aman ditemani tepuk tangan? Haruskah sederetan peminat kursi presiden yang sudah menggelontorkan rupiah amat besar itu dibiarkan melenggang begitu saja? Sementara kita lihat tanda-tanda yang terang benderang, di sana-sini ada saja yang menguras uang negara jadi uang keluarga, jadi uang partai, atau jadi uang kelompoknya di saat terlalu banyak anak-anak bangsa yang tidak bisa melanjutkan sekolah, sebuah “jembatan” menuju kemandirian dan kesejahteraan. Pantaskah saya berkata pada orang tua, pada kakek-nenek kita, bahwa kita tidak mau ikut berproses untuk mengurus negara karena partai belum bersih? Haruskah kita menunggu semua partai beres dan “bersih” baru ikut turun tangan?

Saya pilih ikut ambil tanggung jawab tidak cuma jadi penonton. Bagi saya pilihannya jelas, mengutuk kegelapan ini atau ikut menyalakan lilin, menyalakan cahaya. Lipat tangan atau turun tangan. Saya pilih yang kedua, saya pilih menyalakan cahaya. Saya pilih turun tangan. Di tengah deretan masalah dan goncangan yang mengempiskan optimisme, kita harus pilih untuk terus hadir mendorong optimisme. Mendorong muncul dan terangnya harapan. Ya, mungkin akan dicurigai, bisa tidak populer bahkan bisa dikecam, karena di jalur ini kita sering menyaksikan keserakahan dengan mengatasnamakan rakyat.

Tapi sekali lagi ini soal rasa tanggung-jawab atas Indonesia kita. Ini bukan soal hitung-hitungan untung-rugi, bukan soal kalkulasi rute untuk menjangkau kursi, dan bukan soal siapa diuntungkan. Saya tidak mulai dengan bicara soal logistik atau pilih-pilih jalur, tetapi saya bicara soal potret bangsa kita dan soal tanggung-jawab kita. Tentang bagaimana semangat gerakan yang jadi pijar gelora untuk merdeka itu harus dinyalaterangkan lagi. Kita semua harus merasa turut memiliki atas masalah di bangsa ini.

Ini perjuangan, maka semua harus diusahakan, diperjuangkan bukan minta serba disiapkan. Tanggung-jawab kita adalah ikut berjuang -sekecil apapun- untuk memulihkan politik sebagai jalan untuk melakukan kebaikan, melakukan perubahan dan bukan sekedar mengejar kekuasaan. Kita harus lebih takut tentang pertanggungjawaban kita pada anak-cucu dan pada Tuhan soal pilihan kita hari ini: diam atau turun tangan. Para sejarawan kelak akan menulis soal pilihan ini.

Semangat ini melampaui urusan warna, bendera dan nama partai. Ini adalah semangat untuk ikut memastikan bahwa Republik ini adalah milik kita semua dan untuk kita semua, seperti kata Bung Karno saat pidato soal Pancasila 1 Juni 1945. Tugas kita kini adalah memastikan bahwa dimanapun anak bangsa dibesarkan, di perumahan nyaman, di kampung sesak-pengap tengah kota, atau di desa seterpencil apapun, ia punya peluang yang sama untuk merasakan kemakmuran, keterdidikan, kemandirian dan kebahagiaan sebagai anak Indonesia.

Saya tidak bawa cita-cita, saya mengemban misi. Cita-cita itu untuk diraih, misi itu untuk dilaksanakan. Semangat dan misi saya adalah ikut mengembalikan janji mulia pendirian Republik ini. Sekecil apapun itu, siap untuk terlibat demi melunasi tiap Janji Kemerdekaan. Janji yang dituliskan pada Pembukaan UUD 1945: melindungi, mencerdaskan, mensejahterakan dan jadi bagian dari dunia.

Kita semua sadar bahwa satu orang tidak bisa menyelesaikan seluruh masalah. Dan cara efektif untuk melanggengkan masalah adalah dengan kita semua hanya lipat tangan dan berharap ada satu orang terpilih jadi pemimpin lalu menyelesaikan seluruh masalah. Tantangan di negeri ini terlalu besar untuk diselesaikan oleh satu orang, tantangan ini harus diselesaikan lewat kerja kolosal. Jika tiap kita pilih turun tangan, siap berbuat maka perubahan akan bergulir.

Apalagi negeri ini sedang berubah. Tengok kondisi keluarga kita masing-masing. Negara ini telah memberi kita amat banyak. Sudah banyak saudara sebangsa yang padanya janji kemerdekaan itu telah terlunasi: sudah terlindungi, tersejahterakan, dan tercerdaskan. Tapi masih jauh lebih banyak saudara sebangsa yang pada mereka janji itu masih sebatas bacaan saat upacara, belum menjadi kenyataan hidup.

Di negeri ini masih ada terlalu banyak orang baik, masih amat besar kekuatan orang lurus di semua sektor. Saya temukan mereka saat berjalan ke berbagai tempat. Saat mendiskusikan undangan ini dengan anak-anak generasi baru Republik ini, saya bertemu dengan orang-orang baik yang pemberani, yang mencintai negerinya lebih dari cintanya pada citra dirinya, yang tak takut dikritik, dan selalu katakan siap turun tangan. Akankah kita yang sudah mendapatkan yang dijanjikan oleh Republik ini diam, tak mau tahu dan tak mau turun tangan? Pantaskah kita terus menerus melupakan -sambil tak minta maafÂŹ- pada saudara sebangsa yang masih jauh dari makmur dan terdidik?

Bersama teman segagasan, kami sedang membangun sebuah platform www.turuntangan.org untuk bertukar gagasan dan bergerak bersama. Ini bukan soal meraih kursi, ini soal kita turun tangan memastikan bahwa mereka yang kelak mengatasnamakan kita adalah orang-orang yang kesehariannya memperjuangkan perbaikan nasib kita, nasib seluruh bangsa.

Teman-teman juga punya pilihan yang sama. Lihat potret bangsa ini dan bisa pilih diam tak bergerak atau pilih untuk turut memiliki atas masalah lalu siap bergerak. Beranikan diri untuk bergerak, bangkitkan semangat untuk turun tangan, dan aktif gunakan hak untuk turut menentukan arah negara. Jalur ini bisa terjal dan penuh tantangan, bisa berhasil dan bisa gagal. Tapi nyali kita tidak ciut, dada kita penuh semangat karena kita telah luruskan niat, telah tegaskan sikap. Hari ini kita berkeringat tapi kelak butiran keringat itu jadi penumbuh rasa bangga pada anak-anak kita. Biar mereka bangga bahwa kita tidak tinggal diam dan tak ikut lakukan pembiaran, kita pilih turun tangan.

Saya mendiskusikan undangan ini dengan keluarga di rumah dan dengan Ibu dan Ayah di Jogja. Mereka mengikuti dari amat dekat urusan-urusan di negeri ini. Ayah menjawab, “Jalani dan hadapi. Hidup ini memang perjuangan, ada pertarungan dan ada risiko. Maju terus dan jalani dengan lurus.” Istri mengatakan, “yang penting tetap jaga nama baik, cuma itu yang kita punya buat anak-anak kita.” Ibu mengungkapkan ada rasa khawatir menyaksikan jalur ini tapi Ibu lalu katakan, “terus jalani dengan cara-cara benar. Saya titipkan anak saya ini bukan pada siapa-siapa, bukan kita yang akan jadi pelindungnya Anies. Saya titipkan anak saya pada Allah, biarkan Allah saja yang jadi pelindungnya.”

Itu jawaban mereka. Saya camkan amat dalam sambil berdoa, Insya Allah suatu saat saya bisa kembali ke mereka dan membuat mereka bersyukur bahwa kita ikut turun tangan, mau ikut ambil tanggung-jawab –sekecil apapun itu- untuk republik ini. Ini adalah sebuah jalur yang harus dijalani dengan ketulusan yaitu kesanggupan untuk tak terbang jika dipuji dan tak tumbang jika dikiritik. Bismillah, kita masuki proses ini dengan kepala tegak, Insya Allah terus jaga diri agar keluar dengan kepala tegak. Faidza ‘Azamta Fatawakkal ‘Alallah … bulatkan niat lalu berserah pada Sang Maha Kuasa.

Sebagai penutup, saya mengajak teman-teman untuk menengok video klip yang direkam dengan maksud sederhana untuk menyampaikan pertimbangan saya saat memutuskan untuk menerima tawaran ikut turun tangan dalam konvensi Partai Demokrat di link berikut ini: http://www.youtube.com/watch?v=7QNJqG0Fqf0

Semoga Allah SWT selalu meridloi perjalanan di jalur baru dari perjalanan yang sama ini dan semoga semakin banyak yang menyatakan siap untuk turun tangan bagi Republik tercinta ini.

Terima kasih dan salam hangat,

Anies Baswedan

Fiqh Waris

berikut adalah #ngaji yang saya posting di twitter @akhdaafif, senin 9 september kemarin. semoga bermanfaat

bismillah… mau berbagi #ngaji siang tadi, ba’da dzuhur di masjid kantor. jadi setiap senin, temanya tematik tentang fiqh mawarits

fiqh mawarits adalah salah satu cabang dalam fiqh islam yang membahas tentang hukum dan solusi masalah waris #ngaji

pertemuan siang tadi adalah pertemuan kedua. sebelum ada ayat tentang waris, hukum jahiliyahlah yang menentukan pembagian waris #ngaji

beberapa poin hukum itu adalah: perempuan tidak dapat bagian waris; laki-laki yang ikut berperang punya hak bagian waris #ngaji

suatu ketika, datanglah istri seorang sahabat ke rasul, beserta dua oramg anak perempuannya. suaminya baru saja meninggal #ngaji

dia mengadu bahwa harta warisan suaminya telah diambil seluruhnya oleh keluarga suaminya. tak ada satupun yang ditinggal #ngaji

padahal ia perlu harta itu untuk menghidupi dirinya dan kedua anaknya. adapun keluarga suaminya yang mengambil ini muslim #ngaji

tetapi karena memang hukum jahiliyah menyatakan tidak ada waris untuk perempuan, maka memang tidak ada waris untuk istri dan anak #ngaji

rasul terdiam karena saat itu memang belum ada hukum islam tentang waris. kemudian turunlah surat an nisaa ayat ke-7 #ngaji

monggoh dibuka qurannya. kalo yang fisik sudah berdebu, bisa install di smartphone-nya 🙂 #ngaji

di ayat tersebut, Allah menegaskan bahwa baik laki-laki maupun perempuan, dapat hak untuk waris #ngaji

kemudian turunlah detail jatah waris itu yaitu surat an-nisaa ayat 11 dan 12. dari dua ayat itu, rasul kemudian bersabda #ngaji

beliau menemui keluarga si suami. karena anak yang ditinggalkan ada dua dan perempuan semua, maka haknya adalah 2/3 (ayat 11) #ngaji

kemudian istri yang ditinggalkan, karena ada anak, maka dia mendapatkan 1/8 #ngaji

adapun saudara kandung si suami, ia memperoleh hak waris karena tidak ada anak laki-laki dari si suami #ngaji

jadi, dua anak perempuan dapat 2/3, istri 1/8, saudara kandung dapat sisanya, 5/24 #ngaji

di hadits tersebut, tidak disebutkan bahwa rasul melakukan pembagian harta waris, yang dilakukan hanya menentukan #ngaji

artinya apa? bahwa berbicara waris, jangan berbicara tentang pembagian atau harta terlebih dahulu. utamanya adalah menentukan #ngaji

menentukan apa? orang-orang yang berhak memperoleh waris (ahli waris). kapan dibaginya? terserah kesepakatan ahli warisnya #ngaji

hukum Allah harus dilaksanakan terlebih dahulu. supaya tidak ada yang terdzolimi. dan tidak ada yang terambil hak-haknya #ngaji

dianjurkan dalam penentuan ahli waris ini sebelum mayit dikuburkan. jadi seluruh urusan mayit selesai ketika dia sudah di liang lahat #ngaji

ditentukan dulu! pembagian urusan belakangan. memang harus siap mental kalau begini. siap dikata-katain ‘orang nggak tahu diri’ #ngaji

atau ‘tanah kuburannya aja masih basah, kok udah ngomong warisan!”. itu risiko. ini upaya kita njalanin hukum Allah dan rasul #ngaji

demikian #ngaji tentang fiqh mawarits yang saya peroleh siang tadi. semoga ada manfaatnya untuk kita semua. maaf sudah menuhin linimasa 🙂

 

Antara Fatwa Politik dan Fatwa Politis

dapet tulisan ini dari sebuah milis. ingin berbagi untuk memberikan informasi dan perspektif bagi rekan-rekan

Fatwa sangat penting kita ketahui khususnya untuk menghadapi berbagai dinamika kehidupan yang terus berkembang sehingga kita mengetahui kedudukannya dalam syariat. Tak terkecuali dalam masalah politik. Akan tetapi dalam masalah politik, permasalahannya sangat sensitif, karena sudut pandangan dan latar belakangnya bisa jadi sangat beragam, dan yang lebih rawan adalah syarat kepentingan. Sehingga dalam batas tertentu, kita sulit membedakan apakah ini fatwa politik ataukah fatwa politis…

Revolusi Arab yang terjadi belakangan ini misalnya dapat kita ambil contohnya. Banyak hal yang harus kita lihat, subtansinya mungkin sama, rakyat tidak puas dengan pemimpinnya yang diktator, tapi masing-masing memiliki cara dan gaya penyelesaian. Ada Maroko yang paling smooth, ada yang lumayan lancar seperti Tunisia, ada yang berdarah-darah namun relatif berhasil menumbangkan sang dictator, seperti Libia dan Yaman. Yang sangat kelam adalah Suriah dan kini Mesir yang hingga kini terus berlanjut dan berdarah. Semoga Allah angkat semua nestapa ini dari saudara-saudara kita di sana.
Setidaknya ada dua point yang ingin saya sampaikan sebagai pandangan pribadi saya;

1. Sebagaimana saya katakan bahwa substansi Revolusi Arab adalah sama, ketidakpuasan dengan pemerintahan yang ada dan ingin melakukan reformasi pemerintahan.  Apapun kemudian perkembangan yang terjadi, mestinya sikap kita sama. Jangan sampai ada sikap gand. Misalnya ketika Kadafi jatuh tidak bermasalah, tapi ketika Mubarak jatuh, tidak sudi. Atau misalnya, terhadap perjuangan rakyat Suriah, memberikan pembelaan kuat, sedangkan terhadap perjuangan rakyat Mesir yang menolak kudeta militer justeru mengecam. Ketika Mursi berkuasa, berbagai demo menggoyang kekuasaannya tidak ada seruan agar mereka kembali ke rumah-rumahnya, eh kini ketika pendukung Mursi menentang kudeta militer terhadap presiden yang sah, suara nyaring itu baru terdengar. Apakah yang membedakan antara perjuangan rakyat Suriah dengan rakyat Mesir sehingga sikapnya berbeda? Atau apakah bedanya antara penentangan anti Mursi dahulu dengan penentangan pro Mursi sekarang sehingga fatwanya baru keluar sekarang…?

Saya jadi ingat dengan jihad Afghanistan, semasa rakyat Afghanistan berjihad melawan pemerintahan boneka Uni Sovyet, jihad mendapatkan sambutan hangat di negara-negara teluk. Saat itu Bin Ladin di elu-elukan, bahkan kata teman saya orang Saudi, dibuka tempat-tempat khusus untuk pendaftaran jihad ke Afghanistan. Berbondong-bondong para pemuda ke Afghan. Bahkan tokoh jihad Afghan Abdu rabbi rasul Sayyaf diundang untuk menerima medali king Faishal sebagai tokoh yang dianggap menghidupkan jihad, bahkan dia berpidato soal jihad di panggung resmi.  Tapi bagaimana kini fatwa tentang Jihad Afghan setelah yang dilawan adalah pemerintah boneka AS? Teroris!! Bayangkan, dari mujahid ke teroris! Apa bedanya Najibullah yang jadi boneka Uni Sovyet dengan Karzai yang kini jadi boneka AS?

Beginilah rumitnya kalau fatwanya tidak konsisten, sangat kuat gelagat ada pesan kepentingan tertentu. Yang dilihat akhirnya bukan kuatnya dalil, tapi masalah misdaqiyah (kredibilitas) dan istiqlaliyah (independensi) nya. Sekedar membandingkan dengan kasus serupa di tengah masyarakat, banyak para majikan di negeri Arab yang mendatangkan TKI dari Negara lain tanpa mahram sebagai pembantu rumah tangganya. Sebagian mereka adalah orang yang mengerti dan taat beragama, alasannya adalah kebutuhan. Yang sangat ironis (sekaligus menggelikan) jika musim haji tiba, lalu sang TKW minta ke majikannya untuk berangkat haji, mereka melarangnya dengan alasan tidak ada mahram!!

2. Terkait dengan gerakan penggulingan pemerintahan yang sah dan sikap menasehati penguasa, saya kira memang cukup jelas dalil-dalil normatifnya. Hanya saja, kasusnya di lapangan harus dipahami dengan seksama dan objektif dan mempertimbangkan berbagai hal.

Jika kita lihat revolusi Arab sebagai kasus, atas nama siapakah tuntutan lengsernya penguasa diktator tersebut? Jika kita perhatikan, semuanya bersumber dari rakyat umum yang sudah muak dengan pemerintahan diktator. Bukan karena kelompok tertentu yang mengincar kekuasaan dengan menggulingkannya. IM sendiri yang dianggap sebagai kekuatan politik Islam terbesar, bukanlah inisiator utama gerakan rakyat tersebut. Bahkan pada saat pertama kali gerakan ini muncul IM cukup menjaga diri. Berpuluh-puluh tahun IM dizalimi sejak zaman Nasher, Sadat hingga Mubarak, tidak tercatat mereka mengerahkan massa untuk menggulingkan penguasa, dipenjara, diintimidasi, difitnah, mereka tetap berjalan, membina masyarakat dan menasehati penguasa dengan cara damai. Ketika akhirnya gerakan rakyat tersebut semakin membesar dan hakekatnya tuntutan mereka sama, maka ketika itu IM turun bersama rakyat, terus mengawal keinginan rakyat hingga akhirnya dipercaya menduduki tampuk pemerintahan. Jadi, kalau saya melihat, IM lebih berperan mengontrol jalannya pemerintahan dan mengawal aspirasi masyarakat. Yang perlu diketahui bahwa penentang kudeta Mesir bukan hanya IM saja, bahkan analisanya menunjukkan bahwa lautan manusia yang menentang kudeta Mesir, orang IM hanya sebagian kecil saja…

Masalah pencopotan pemimpin Negara pada masa sekarang sendiri ada juga jalur konstitusionalnya. Apalagi ketika mereka dipilih oleh rakyat dan kemudian rakyatnya secara umum menolaknya. Inipun harus menjadi bahan pertimbangan fiqih politik kontemporer.  Jika kita runut ke belakang misalnya, berdirinya Negara Saudi modern, tak lain setelah berhasil “menggulingkan” beberapa penguasa muslim di beberapa wilayah di Arab Saudi ini, dan setahu saya hal itu tidak diperdebatkan para ulama.

Sekali lagi masalah ini memang sangat kasuistik. Tidak dapat diukur dengan fatwa yang sama.

Adapun terkait dengan banyaknya korban yang jatuh, bagi saya ini adalah konsekwensi dari sikap. Tentu kita sangat pedih melihat semua ini. Perjuangan mana sih yang tidak menimbulkan korban? Nonton bola saja bisa menyebabkan jatuh korban! Kalau kita hanya menyoroti banyaknya korban, mungkin dahulu tidak ada perang perjuangan membebaskn penjajah dari tanah air yang menelan lebih banyak korban. Tapi yang lebih pedih dari itu adalah jika empati terhadap mereka terkikis termakan opini yang digiring para diktator bahwa mereka adalah ekstrimis dan teroris, lalu ikut-ikutan jadi mengecam mereka dan menuduh berbuat konyol dan ‘anjing-anjing neraka’.  Sementara ‘tukang jagalnya’ tak tersentuh sama sekali dari lidah dan pena mereka.

Para ulama yang menasehati rakyat Mesir untuk kembali ke rumah-rumahnya sangat layak diapresiasi, apalagi jika tujuannya untuk menyelamatkan darah dan jiwa mereka. Akan tetapi yang patut dipertanyakan juga adalah, apakah nasehat hanya berlaku kepada mereka. Saya melihat, pada masa sekarang ini, nasehat para ulama lebih penting diarahkan kepada para penguasa, baik yang langsung membantai, atau secara tidak langsung memberikan restu dan dukungan. Jadi ‘aneh’ kalau ada dua orang bertikai, kemudian nasehat hanya diarahkan kepada satu pihak, lebih aneh lagi, jika nasehat hanya diarahkan kepada yang dizalimi.

Seandainya para ulama secara massif memberikan nasehat kepada penguasanya, bukan cuma jadi bumper kebijakan-kebijakannya, maka para penguasa pun kan selalu menimbang-nimbang setiap kebijakannya agar selaras dengan prinsip-prinsip agama. Maka, kalau rakyat turun ke jalan memprotes kezaliman penguasanya, hal itu juga harus dilihat sebagai wujud dari mandegnya tugas ulama yang harus menasehati para penguasa. Jadi, dalam hal ini, para ulama pun harus dinasehati terkait sejauh mana peran mereka mengontrol para penguasa. Bukankah Rasulullah saw mengatakan, “Seutamanya jihad adalah menyampaikan yang haq di depan penguasa zalim.”

Tragedi di Mesir ini, tidak perlu terjadi apabila sejak awal Negara-negara Islam yang utama langsung mendukung total pemerintahan Mursi, tapi sayang seribu sayang, sikap mereka sangat jauh dari harapan. Kalau ingin tahu sikap mereka terhadap pemerintahan Mursi, lihat saja media massa resminnya yang tak lain merupakan corong mereka; Lebih jahat dari media barat sekalipun! Ironis, ketika Presiden Mursi terpilih, negeri Arab sangat terkesan ‘ogah-ogahan’ memberi dukungan, namun ketika junta militer berhasil mengkudeta mursi dan membentuk pemerintahan yang notabene dipegang orang sekuler, langsung mendapatkan dukungan. Sebegitu buruknyakah Mursi yang hafiz Quran disbanding Baradei dan Bablawi yang sekuler asli (Bahkan Baradei belakangan mengaku syiah). Sangat sulit bagi saya mendapatkan logikanya. Anehnya, yang getol memberikan dukungan dan pembelaan, bahkan hingga kini, justeru Erdogan, pemimpin muslim Turki yang  bukan Arab dan tidak memiliki ‘gudang’ ulama.

Masalah menyampaikan pesan secara tersembunyi pun saya melihat bukan sesuatu yang mutlak, bolehlah itu dikatakan sebagai prisip dasarnya, akan tetapi kondisi tertentu bisa jadi menyebabkan adanya tuntutan memberikan nasehat terhadap penguasa secara terang-terangan, apalagi jika disampaikan secara bijak dan tegas.  Umar bin Khattab pernah diprotes kebijakannya tentang pembatasan mahar secara terang-terangan. Kisah para salaf dan ulama terpercaya pun tidak sepi dari kisah bagaimana mereka bersikap tegas degan kezaliman penguasa. Misalnya ada ulama yang dikenal sebagai Sulthanul Ulama, yaitu Al-Izz bin Abdussalam, ketika penguasa Damaskuus hendak berkoalisi dengan pasukan salib untuk menyerang penguasa Mesir yang tak lain saudaranya sendiri, dengan lantang dia menentangnya, dia sampaikan hal itu di atas mimbar, akhirnya dia dicopot dari jabatan qadhi dan dipenjara. Ada juga kisah lainnya yang terkenal darinya yang terang terangan menentang kebijakan penguasa.

Bahkan di Saudi saya lihat di media-media sudah mulai lumrah memberitakan  kritikan-kritikan dari berbagai pihak atas kebijakan-kebijakan yang dianggap layak diluruskan. Bahkan belum lama beberapa ulama di Saudi rame-rame mendatangi beberapa departemen, seperti departemen pendidikan dan departemen tenaga kerja atas beberapa kebijakannya yang dianggap sebagai bertentangan dengan syariat. Mereka sih tidak menganggapnya demonstasi, tapi sebagai bentuk nasehat… Bahkan dibentuknya majelis syura Saudi salah satunya untuk mengontrol kebijakan pemerintah. Saya sering baca di media misalnya, majelis syura menyampaikan beberapa kritikannya terhadap kinerja pemerintah… Apakah mereka dapat disebut khawarij karena hal itu.

Intinya masalah politik adalah masalah yang sangat dinamis dan luas dimensinya, mengandalkan dalil-dalil normatif begitu saja tanpa mempertimbangkan kasus perkasus, akan jadi rumit sendiri. Dan jangan sampai pembicaraan siyasah syar’iah kita hanya seputar “Apa hukum demonstrasi” lalu mengambil semua kesimpulan hukum dari sana. Sekali-kali dibahas juga lah “Apa hukum penguasa yang diam atau bahkan mendukung kezaliman.” Atau “Apa hukum penguasa muslim yang berkolaborasi dengan kekuatan kufur untuk memberangus gerakan Islam..” atau “Apa hukum ulama yang diam saja melihat pembantaian terhadap kaum muslimin.” atau semacamnya…. Saya ingin katakan, bahwa tugas kita memang bukan hanya mengajak umat agar tidak menyembah kuburan, tapi juga agar mereka tidak menyembah AS dan sekutu-sekutunya. Kedua-duanya adalah syirik yang harus dibasmi. Inilah Tauhid!!

Wallahua’lam
Ustadz Abdullah Haidir, Lc.
Riyadh, Arab Saudi

 

Enam Bulan

Alhamdulillah, dalam kalender Masehi, hari ini usia Carissa Husna Afifah tepat 6 bulan. Terasa cepat sekali nak. Kayaknya baru kemarin ayah melihatmu sedang berjuang keluar dari rahim unda. Menikmati 6 bulan bersamamu, rasanya benar-benar luar biasa. Penat, lelah, muram ayah segera sirna saat berada di rumah dan melihatmu berguling-guling asyik di kasur sambil tersenyum dan tertawa bahagia.

Ayah tahu nak, ayah belum bisa jadi ayah yang baik untukmu dan unda. Masih sering meninggalkan kalian berdua untuk tugas kantor, kumpul bersama teman, atau asyik dengan dunia ayah sendiri. Ayah juga belum sekuat unda nak, yang pulang dari kantor masih kuat untuk bermain hingga tengah malam denganmu, sambil terjaga menyusuimu.

Hadirmu seperti namamu nak, menjadi anugerah kebaikan. Bukan hanya buat ayah dan unda, juga buat keluarga besar kita. Semua menyayangimu. Selalu tersenyum melihat bahasa tubuhmu yang ramah. Geli dengan aneka gaya spontanmu di foto. Atau juga ikut resah dan sedih ketika badanmu tiba-tiba demam dan terkena flu.

Tepat hari ini nak, usiamu 6 bulan. Tepat waktunya bagi unda untuk menambahkan makanan lain selain ASI. Nanti ketika kau dewasa, berterimakasihlah banyak-banyak ke unda. Beliau yang berjuang keras menyediakan ASI untukmu. Mencuci botol-botol hasil ASI perah. Mensterilkan botol susumu juga. Baik-baiklah ke unda. Taati apa yang beliau sampaikan.

Doa ayah dan unda sama seperti namamu, anugerah kebaikan yang terjaga kesuciannya. Suci imannya, akhlaknya, dan akalnya. Aamiin…